SETELAH berupaya mempelajari pemikiran para mahapemikir Barat, mulai dari Thales dari Miletus, Yunani Kuno sampai dengan Julia Kristeva dari Bulgaria masa kini, saya memberanikan diri menyimpulkan bahwa tidak seorang pun di antara para beliau yang berhasil secara paripurna sempurna tegas dan tepat menjawab pertanyaan “Apa makna hidup ?”
Tidak Sempurna
Para mahapemikir adalah manusia biasa maka mustahil untuk sempurna. Karena manusia memang sengaja diciptakan oleh Yang Maha Kuasa sebagai mahkuk yang tidak sempurna, namun dilengkapi dengan nurani serta naluri untuk senantiasa berikhtiar menyempurnakan diri.
Pada hakikatnya, para mahapemikir tidak lepas dari belenggu kelirumologis yang paling mendasar yaitu berupaya mencari dan menemukan kekeliruan kemudian berupaya mengoreksi kekeliruan demi mendekati kebenaran yang mustahil dicapai secara sempurna oleh manusia maupun pemikiran manusia yang tidak sempurna.
Proses berkelanjutan kelirumologis niscaya senantiasa mengoreksi kekeliruan secara perpetuum mobile itu pada hakikatnya merupakan enerji yang menggerakkan apa yang disebut sebagai peradaban sebagai upaya manusia mencari kebenaran dengan daya pemikiran yang mustahil sempurna.
Hanya sedikit mahapemikir yang berani jujur mengakui kemustahilan kesempurnaan daya pikir mereka. Di antara yang sedikit itu Bertrand Russel tampil di gugus terdepan.
Kesadaran dan kejujuran bahwa pemikiran diri tidak sempurna eksplisit dan implisit diungkap Bertrand Russel yang sengaja memilih judul buku tulisannya bukan “My Philosophy” atau “My Philosophical Thinking” tetapi “My Philosophical Development”, merupakan bukti bahwa sang mahapemikir Inggris ini tidak menganggap pemikiran sebagai sesuatu yang beku atau mandeg tetapi cair dan berkembang.
Gagal
Di dalam buku tersebut, Russel mengakui bahwa dirinya gagal dalam mencari “certainity” alias kepastian di dalam perjalanan pemikirannya sebagai upaya mencari kebenaran secara sempurna.
Otokritik pemikiran Bertrand Russel yang lestari dinamis berkembang menelusuri bab-bab My Present View Of The World, First Efforts, Excursions into Idealism, Revolt Into Pluralism, Logical Technique in Mathematics, Principuia Mathematica: Philosophical Aspects, Principia Mathematica: Mathematical Aspects, The External World, The Impact of Wittgenstein, Theory of Knowledge, Conciousness and Experience, Language, The Definition of “Truth”, Non-Demonstrations Inference, The Retreat from Phytagoras.
Secara dialektis Russel senantiasa menemukan pemikiran untuk melawan bahkan menggugurkan pemikiran dirinya sendiri.
Perilaku Russel tidak jauh beda dengan tingkah seorang anak yang membangun rumah-rumahan dari bahan pasir di tepi laut. Ketika tidak puas terhadap bangunan pasir yang berhasil dibangunnya, maka diruntuhkan kembali oleh sang anak untuk kemudian dibangun kembali, dan seterusnya, dan selanjutnya, sampai akhir hayat dikandung badan.
Menurut saya, kesakti-mandragunaan pemikiran Bertrand Russel justru terletak kepada kemampuan dan kemauan otokritik, akibat menyadari bahwa pemikiran dirinya mustahil sempurna maka senantiasa dan niscaya masih dapat disempurnakan.
Ojo Dumeh
Kerendahan hati Russel selaras dengan kearifan falsafah Ojo Dumeh yang mengingatkan manusia agar jangan tinggi-hati alias sombong dan takabur. Sehingga mentang-mentang berkuasa, tidak segan melecehkan, merendahkan, menindas, bahkan mengorbankan yang mereka kuasai.
Secara implisit, pemikiran Bertrand Russel menerangkan bahwa mahkota peradaban bukan harta benda, ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, agama, dll. Tetapi kemanusiaan. Otokritik Bertrand Russel menyadarkan para penguasa agar jangan alergi dikritik apalagi fobia dikritik.
Pada hakikatnya dikritik maupun otokritik alias dikritik oleh diri sendiri justru menyemangati manusia yang mustahil sempurna untuk terus-menerus tanpa henti mawas diri kemudian mengoreksi diri agar lestari. Agar makin berupaya mendekati kesempurnaan. MERDEKA!
Penulis adalah pembelajar pemikiran para mahapemikir.
KOMENTAR ANDA