BANYAK pejuang perempuan yang berasal dari Aceh. Satu nama ini mungkin belum terlalu Anda kenal. Dia adalah Meurah Intan. Perjuangan perempuan kelahiran Biheue, Aceh, 1833 ini membuat ciut nyali penjajah Belanda.
Potjut Meurah adalah nama panggilan khusus bagi perempuan keturunan keluarga Sultan Aceh. Ayahnya adalah seorang Kejruen (Kepala Negeri) Biheue.
Potjut Meurah merupakan orang kepercayaan Cut Nyak Dien dan sempat menjadi pemimpin para pejuang Aceh di kawasan Laweueng dan Kale, Aceh pada perang melawan Belanda tahun 1900. Namun, kemudian dirinya tertangkap dan diasingkan di Kabupaten Blora hingga akhirnya meninggal dan dimakamkan di Blora
Potjut Meurah Intan terpaksa memilih bercerai dengan suaminya, Tuanku Abdul Majid, yang menyerah kepada Belanda. Ia pun melanjutkan perjuangannya dengan mengajak anak-anaknya ikut berjuang melawan penjajah.
Tiga putranya; Tuanku Muhammad Batee, Tuanku Budiman, dan Tuanku Nurdin, turut berjuang melakukan perlawanan terhadap Belanda. Kesemua anaknya berjuang dalam Perang Aceh. Perang Aceh adalah peperangan yang terjadi antara Kesultanan Aceh dengan Pemerintah Belanda yang dimulai pada tahun 1873 ditandai dengan datangnya Kapal Belanda di Pantai Kotaraja.
Ketika dua putranya tertangkap, Potjut Meurah tetap tak gentar. Walau hatinya sangat sedih, dia tetap melakukan perlawanan kepada pasuka marsose (serdadu). Dia tak ingin menyerah pada Belanda. Meski sendirian, Potjut Meurah Intan tak kenal takut. Dengan senjata rencong di tangan, dia memberikan perlawanan.
Potjut Meurah mengalami banyak luka di tubuhnya. Dia pun ditangkap bersama seorang anaknya dan dijebloskan ke penjara. Setelah itu Potjut dan anaknya dibuang ke Blora, Jawa Tengah.
Potjut Meurah wafat di usianya yang hampir mencapai seratus empat puluh tahun pada 20 September 1937. Ia di makamkan di Desa Tegal Sari, Blora. Warga Blora mengenangnya dengan sebutan Mbak Tjut.
KOMENTAR ANDA