Ilustrasi wanita di Kashmir/Net
Ilustrasi wanita di Kashmir/Net
KOMENTAR

PEMBATASAN dan pengepungan ketat wilayah Kashmir bagian India sejak awal Agustus lalu merugikan banyak pihak. Namun, siapakah pihak yang pling dirugikan dari situasi politik yang buruk tersebut? Jawabannya adalah para wanita Kashmir.

Mengapa demikian? Untuk memahaminya, perlu diketahui terlebih dulu bahwa pembatasan ketat di Kashmir dilakukan tidak lama setelah India membatalkan Pasal 370 konstitusi India yang memberikan status otonomi khusus kepada wilayah tersebut pada 5 Agustus lalu.

Setelah pencabutan status khusus tersebut, India menempatkan Kashmir di bawah penguncian militer dan memberlakukan pembatasan serta pengepungan ketat, termasuk memutus saluran telepon dan internet di wilayah Kashmir.

Salah satu argumen yang dikemukakan pemerintah India untuk membatalkan Pasal 370 pada saat itu adalah karena hal tersebut akan mendorong kesetaraan gender dan emansipasi wanita di wilayah Kashmir.

Namun tampaknya argumen itu dipatahkan oleh komentar-komentar seksis soal wanita Kashmir yang bermunculan tidak lama setelah pembatalan Pasal 370 dilakukan. Komentar semacam itu bahkan datang dari sejumlah politisi partai nasionalis Hindu yang berkuasa di India, Bharatiya Janata Party (BJP).

"Beberapa orang sekarang mengatakan bahwa ketika Kashmir terbuka, para pengantin akan dibawa dari sana. Tetapi bercanda, jika rasio (gender) ditingkatkan, maka akan ada keseimbangan yang tepat di masyarakat," kata Kepala Menteri Haryana, Manohar Lal Khattar pada 10 Agustus lalu.

Sebelumnya, politisi BJP lainnya, Vikram Saini yang juga adalah anggota Majelis Legislatif India, melontarkan komentar senada.

"Pekerja partai Muslim harus bersukacita dalam ketentuan baru. Mereka sekarang dapat menikahi wanita kulit putih Kashmir," selorohnya.

Situasi tersebut dipandang sinis oleh seorang profesor di Universitas Jawaharlal Nehru di New Delhi, India, Nivedita Menon.

"Ini adalah proklamasi penaklukan dan penjarahan, dan mengungkapkan maksud sebenarnya di balik pencabutan (pasal) 370," ujarnya, seperti dimuat Al Jazeera (Rabu, 21/8).

Bukan hanya dari politisi ternama India, namun misogini juga menyebar secara online dengan cepat di tengah situasi tersebut. Tidak sedikit unggahan di jejaring media sosial di India mengangkat tema serupa.

Bahkan menurut laporan terbaru yang juga dilansir Al Jazeera, pasca pencabutan status otonomi khusus Kashmir, kata kunci "Bagaimana cara menikahi wanita Kashmir" semakin banyak dicari di mesin pencari Google.

Salah wanita di Srinagar, Kashmir, Misbah Rehsi, mengaku tidak terkejut dengan meningkatnya seksisme pasca 5 Agustus lalu. Dia menilai bahwa upaya BJP untuk memposisikan dirinya sebagai "penyelamat" bagi wanita Muslim di Kashmir tidaklah murni.

"Saya berharap orang-orang India dapat memahami kebencian terhadap wanita dalam partai dan melihat bagaimana sebenarnya tidak ada niat untuk melindungi dan menyelamatkan perempuan Kashmir," katanya.

Sementara itu, anggota Partai Komunis India (CPIM) Kavita Krishnan, yang membawa aktivis dari India ke Kashmir setelah 5 Agustus lalu, mengatakan bahwa para wanita dan gadis-gadis di wilayah tersebut cemas dengan kehadiran paramiliter dan militer India yang meningkat.

"Mereka mengatakan kepada kami bahwa mereka merasa sangat sulit antara 5 dan 9 Agustus untuk mendapatkan susu dan sayuran untuk anak-anak mereka, karena jam malam total. Mereka juga sangat tertekan pada penahanan ilegal yang meluas terhadap anak-anak muda yang bahkan berusia sembilan atau 10 tahun, atau juga orangtua dan remaja," ungkapnya.

Krishnan menambahkan, beberapa wanita dan anak perempuan juga berbicara tentang ketakutan mereka dianiaya selama penggerebekan. Terlebih, bukan isu baru bahwa pasukan India kerap dituduh melakukan pelecehan seksual di Kashmir.

Pada 23 Februari 1991, ketika India melakukan operasi militer besar-besaran ke wilayah Kashmir, tentara India diduga memperkosa lebih dari 30 wanita di dua desa, yakni Kunan dan Poshpora, di distrik Kupwara. Namun, Angkatan Darat India selalu membantah tuduhan itu.

Sebenarnya, bukan hanya elit politik yang mengobarkan sikap seksis terhadap wanita Kashmir, melainkan juga penggambaran wanita Kashmir yang dipandang rendah di layar lebar di India.

Seorang mahasiswi pasca sarjana dari Srinagar, Janees Lanker menjelaskan, penggambaran wanita Kashmir di bioskop India juga merupakan akar kuat misogini lainnya.

"Wanita-wanita Kashmir ditampilkan sebagai makhluk-makhluk yang tidak berdosa, lugu dan berpura-pura, yang tidak lain adalah objektifisasi mereka," jelasnya.

Namun, sejarawan yang berbasis di New Delhi, Irfan Habib memiliki pandangan lain.

"(Situasi) ini tentu saja komunal dan penuh kebencian," katanya kepada Al Jazeera.

"Tetapi dalam konteks yang lebih besar, ini bermain dengan ide untuk membalas dendam atas apa yang terjadi 500 tahun yang lalu di bawah pemerintahan Muslim di India, terlepas dari kenyataan bahwa separuhnya hanyalah kebohongan," tutupnya.




Dari Bisnis hingga Politik, Jejak Karier Futri Zulya Savitri yang Inspiratif

Sebelumnya

Stella Christie, Ilmuwan Kognitif dan Guru Besar Tsinghua University yang Terpilih Jadi Wakil Menteri Dikti Saintek RI

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Women