KOMENTAR

NAMA Mona Haydar melejit lewat singles yang menjadi hits seperti Hijabi (Wrap My Hijab). Lirik lagu tersebut cukup ‘menggelitik’ telinga dengan video klip yang ‘eye catching’ karena Mona tampil dalam kondisi hamil besar.

Musik Mona mengandung pesan-pesan positif, humor, hingga kritik sosial. Dengan banyak kemampuan lainnya, perempuan keturunan Suriah-Amerika ini pun menjadi inspirasi bagi banyak perempuan muslim.

Besar di Michigan sebagai perempuan muslim keturunan Arab, Mona kepincut musik hip hop. Ia menyebut nama Lauryn Hill dan Erykah Badu sebagai suara yang selalu ia dengar melalui radio. Ia memang tumbuh dengan musik rap, r&b, soul, dan hip hop. Ia tidak mendengarkan lagu-lagu Arab.

Dalam sebuah wawancara, Mona menyebutkan pro kontra seputar karirnya di musik. “Ada sebagian komunitas muslim yang menganggap musik adalah sesuatu yang haram. Mereka mengatakan saya sesungguhnya bukan seorang muslim karena saya bermusik,” kenang Mona.

Dalam bidang akademik, Mona mengambil jurusan Arabic and Islamic Spirituality sekaligus Christian Ethics. Tak heran keluarganya pun sempat menentang keputusannya terjun ke musik rap. Menurut mereka, musik rap dan bidang ilmu yang ia pelajari tidaklah sejalan. Jika ingin serius menjadi akademisi, tidak mungkin dijalani sambil bermusik rap.

Ia tidak hanya mendapat tantangan dari keluarga ataupun sesama muslim. Berkembangnya Islamophobia di Amerika, terutama isu terorisme yang berkaitan dengan ISIS dan Suriah, banyak juga yang menudingnya sebagai radikal dan menganggapnya bagian dari orang-orang barbar.

Apa yang ia alami itu bisa didengar dalam penggalan lirik lagu American yang masuk dalam EP Barbarican yang dirilis tahun 2018: They don’t want to see me as American. See me on your TV as a terrorist. All i want to do is have some fun by the beach man. But here comes ICE  and the travel ban.

Sebagai rapper, Mona memang bukan sekadar ‘mengoceh’ tentang gaya hidup modern atau percintaan. Menurut Mona, musiknya adalah untuk mereka yang menolak rasisme dan berani bersuara melawan dominasi. Termasuk tak sungkan berbicara tentang kebijakan Trump soal Immigration and Customs Enforcement (ICE).

Menurut Mona, ia tak ingin menciptakan musik ‘manis’ untuk membuat orang menyukainya. Musik rap yang ia ciptakan merupakan bentuk fundamental dari seni yaitu tidak takut menyuarakan kritik terhadap dunia di sekitarnya sekaligus menghadirkan kemasan video musik yang unik.

“Musik saya mengajak orang untuk melihat kembali-dalam perspektif baru-sosok perempuan muslim. Saya muslim, saya orang Amerika, saya seorang ibu, saya rapper, dan saya juga seorang rohaniawan. Saya menjalankannya sebagai sebuah harmoni.”

Barbarican, berbicara tentang perasaan sebagai perempuan keturunan Suriah-Amerika yang bersyukur dapat hidup bebas di Amerika Serikat namun mengharapkan yang lebih baik. Dengan lirik berbalut sedikit dark humor, Mona mengatakan bahwa walaupun Amerika adalah rumahnya, ia tidak akan pernah benar-benar diterima oleh orang kulit putih, penganut patriarki, dan masyarakat kapitalis.

“Jika keserakahan kapitalis yang telah menghasilkan perang ekonomi dan mendapat keuntungan dari kematian orang-orang kini dianggap peradaban, maka saya bahagia menjadi orang yang primitif dan tidak beradab,” tegas Mona. (F/ dari berbagai sumber)




Menutup Tahun dengan Prestasi, dr. Ayu Widyaningrum Raih Anugerah Indonesia Women Leader 2024

Sebelumnya

Meiline Tenardi, Pendiri Komunitas Perempuan Peduli dan Berbagi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Women