TANPA kita sadari, kita kerap bersikap sinis terhadap perbuatan baik orang lain. Misalnya, ketika melihat orang kaya bolak-balik berhaji dan menunaikan umrah ke Tanah Suci, kita sontak berpendapat lebih baik memperbanyak sedekah kepada fakir miskin daripada berulang kali mengunjungi Baitullah.
Setali tiga uang, kita mengernyitkan dahi ketika orang ramai-ramai membantu warga Palestina. Kita bertanya, mengapa mereka tidak memperhatikan kesulitan tetangga dan teman di sekitarnya, atau saudara sebangsa di daerah lain. Palestina berada jauh dari Indonesia. Bukankah jauh lebih mulia membantu orang yang lebih dekat dengan kita?
Atau contoh lain, kita memandang remeh seorang ibu yang setiap pagi membagikan potongan kecil ikan dan ayam untuk kucing-kucing liar di perumahan. Kita sibuk berpikir, mengapa ia lebih mementingkan hewan daripada beramal untuk manusia.
Jika kita pernah mempertanyakan hal-hal semacam itu, kita patut beristighfar, bersegera memohon ampunan Allah. Bagaimana mungkin kita merasa paling tahu takaran nilai ibadah seseorang, sementara semua adalah keputusan dan berdasar rahmat Allah Swt.?
Apakah kita yakin orang yang berhaji berulang kali tak pernah bersedekah untuk lingkungan sekitarnya? Jangan-jangan, jumlah yang mereka keluarkan untuk sedekah jauh lebih besar dari sedekah kita.
Apakah mereka menjadi sombong karena hal itu? Jangan-jangan mereka menjadi lebih dekat kepada Allah karena berhaji dan berumrah membuat mereka makin bersyukur dan istiqamah.
Sama halnya ketika menuduh orang yang membantu warga Palestina menutup mata akan kondisi buruk saudara sebangsa. Belum tentu. Bisa jadi, itu adalah ladang amal dan dakwah baru, di luar infak rutin yang mereka gelontorkan untuk masyarakat di kampung halaman.
Sebagai Muslim, kita dituntut untuk senantiasa bersikap bijak dan menilai sesuatu dari berbagai sudut pandang. Dengan demikian, tidak mudah suudzan (berburuk sangka) kepada sesama Muslim. Tidak menganggap orang lain salah menjalankan ibadah.
Pun tentang nilai ibadah, kita tidak tahu mana ibadah terbaik dan siapa yang melakukannya lebih baik. Ada unsur niat, keikhlasan, ketaatan, dan pengetahuan yang menentukan besaran pahala seseorang. Karena itulah, jangan pernah membenturkan satu ibadah dengan ibadah lain. Wallahu a'lam bishshawab. (F)
KOMENTAR ANDA