MARILAH kita kenang tentang perempuan dari masa lalu; perempuan yang mungkin jauh dari imaji “indah” perempuan masa kini: yang berhijab, putih, stylish, dan wangi. Ini tentang perempuan legam yang darinya kita bisa belajar keikhlasan, kesetiaan, kesabaran, dan kesetaraan.
Dialah Siti Hajar. Sosok yang hidup bersahaja, tampil sederhana, bermodalkan iman, kesetiaan, dan pengorbanan. Dialah yang setiap lebaran haji kurang dizikir-zikir namanya. Setiap kita mungkin lebih banyak merapal nama dua Nabi di musim haji: Ibrahim dan Ismail, suami dan putra kinasih Hajar.
Saya sendiri mengenal Ibunda Siti Hajar sejak kecil, dulu sekali, saat masih duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah (MI, selevel SD). Perkenalan yang tak membekas, tentu saja. Sebab, di zaman itu, terus terang, saya membenci pelajaran sejarah yang membosankan. Di pesantren pun sama; saya tak begitu hirau dengan perempuan yang—syahdan dalam literatur sejarah—kulitnya serupa malam, hitam-legam, itu.
Tugas-tugas hafalan yang menumpuk dan jadwal ta’lim kitab yang ketat telah mendominasi waktu saya. Namanya, kehidupannya, secara otomatis, tidak masuk dalam daftar pergulatan hidup saya. Atau barangkali, bisa jadi, karena kehidupan pesantren adalah “kehidupan laki-laki”; budaya patron kaum pria dan sistem patriarkinya. Semua yang terkait ihwal iman, hikmah, dan pergumulan makna hidup terpusat di dalamnya, terpapar di lingkarannya. Karenanya, sosoknya itu tentu jauh dari kemenungan saya.
Begitu juga saat duduk di bangku kuliah, ia bukanlah inspirasi yang menghentak-hentakkan adrenalin intelektualisme saya. Sosoknya terpinggirkan oleh para filsuf, sufi, dan pemikir-pemikir progresif yang saya gandrungi kala itu. Sindrom kegenitan ber-ilmiah ria telah membuat saya terlena menggali tentangnya.
Namun, Allah Maha Pemurah. Setelah bekerja, Dia menuntun saya untuk mengenalnya. Sepercik cahaya yang memendarkan batin saya saat kembali mengenalnya ketika ibadah umrah, Siti Hajar, sang kinasih Nabi Ibrahim as. Tentu saja, Anda sudah demikian akrab denganya. Ia figur historis yang jejak hidupnya meruapkan wangi sepanjang zaman: Air Zam-zam. Makamnya di dekat Ka’bah. Bukit Shafa dan Marwah. Semua itu saksi bisu tentangnya.
Dialah satu-satunya manusia yang dikebumikan di pelataran Ka’bah. Padahal ia bukan Nabi. Ia hanya seorang budak yang kemudian diperistri rasul Allah yang hanif. Namun, Rabb Azza wa Jalla punya disain istimewa untuknya. Dia memilih Hajar menjadi simbol kemulian hamba; keikhlasan, kesabaran, kesetiaan, dan–ini yang paling utama—kesetaraan.
Keikhlasan: ia ridha dikirim suaminya ke Mekkah karena mentaati titah Allah. Tanah Suci itu sendiri kala itu adalah padang tandus yang panas menyengat. Dan ia, seorang perempuan, bersama buah hati yang masih merah, Isma’il, menjalani hari-hari yang berat di tengah-tengahnya. Tentu saja, ujian fisik dan jiwa adalah medan peperangannya. Kita tahu, dalam catatan sejarah, ia memenangkan pertarungan itu. Contohnya: pertolongan Allah begitu ajaib membantunya. Pancaran Zam-zam mengalir deras saat ia limbung mencari air minum untuk Ismail. Kalau bukan keikhlasan atas nama Allah, darimanakah energi itu ia dapatkan.
Kesetiaan dan Kesabaran: seorang istri ditinggal pergi suami dengan bekal yang minim sungguh sulit dibayangkan di zaman ini, tapi Hajar melaluinya. Ia selimuti hatinya dengan iman yang kokoh, karena ia percaya suaminya tengah menjalani tugas suci. Ia menanti begitu setia. Ia percaya bahwa suaminya baik-baik saja dan ia wajib bersabar menunggunya. Terlebih, dengan minim perbekalan hidup, di sisinya ada bayi Isma’il yang harus diurus.
Kesetaraan: bila Anda merasa “mulia” atau “sempurna” atau “lebih” karena memiliki sesuatu dibanding yang lain, maka bergurulah kepada Hajar. Ketika Allah memilihya berjodoh dengan Ibrahim dan kemudian dimakamkan di dekat Ka’bah, rupanya itu sarat senarai pesan.
Kepada Hajarlah, selayaknya, kita bercermin untuk tidak merasa jumawa sebagai manusia. Melalui Bunda Hajar, Sang Khalik tengah mengajarkan kita bahwa hamba-Nya yang paling mulia dan berani dan hebat itu bukan ia yang kulitnya bersih dan putih, bukan ia yang tinggi status sosialnya, bukan ia yang jenis kelaminnya laki-laki, bukan perempuan yang berhijab dan stylish, dan seterusnya ,dan lain-lainnya. Melainkan, ia yang paling bertakwa, paling ikhlas, dan paling bersabar. Itulah kualitas-kualitas tangguh yang mengendap di jiwa dan ditunjukkan dalam laku kehidupan.
Hajar adalah lambang bahwa di hadapan-Nya, semua mahluk itu sama, setara. Seseorang akan tidak setara, lebih tinggi derajatnya, saat ia menunjukkan sikap dan laku seperti perempuan Hajar yang berkulit legam itu. Meski telat, saya bersyukur, akhirnya, Ilahi memperkenankan saya mengenalnya kembali. Wallahu’alam bishshawab.
Selengkapnya baca di Farah Magazine edisi 5 / Terbit Oktober 2018
KOMENTAR ANDA