HARI ini Bangsa Indonesia memperingati Hari Batik Nasional. Seluruh dunia tahu, bagaimana indahnya dan beragamnya batik asli buatan anak bangsa.
Salah satu yang sedang menjadi trending dan cukup mengagumkan adalah batik daur ulang. Dari sebuah keterpaksaan, Helen Dewi Kirana, pendiri batik NES, mampu menciptakan karya yang bernilai estetis tinggi.
Diakui Helen, batik buatannya menggunakan material dari bahan daur ulang dan ramah lingkungan, seperti sumpit, kertas koran, sendok es krim, hingga karung goni yang ditempel di tripleks.
“Saya bekerja sama dengan Pak Heri, yang menciptakan alat cap batik dari barang-barang bekas dan tripleks. Biasanya kan alat cap batik terbuat dari tembaga, ini beda,” ujar dia.
Heri menambahkan, pada awalnya ia membuat alat cap dari bahan daur ulang ini karena terpaksa. “Awalnya karena nggak punya modal, kalau bikin alat cap dari tembaga paling murah harganya Rp 500.000 sampai satu juta. Untuk kembali modal, harus menjual berapa kain. Kalau alat yang saya buat ini modalnya hanya tenaga,” tuturnya.
Seiring dengan kampanye penyelamatan lingkungan, cara memproduksi batik juga dapat menggunakan metode zero waste, sehingga berkontribusi dalam menjaga kelestarian alam.
Ide-ide kreatif anak bangsa ini patut diacungi jempol, karena menambah keragaman corak batik nasional.
Peringatan ini terjadi ketika batik memperoleh pengakuan dunia pada 2009 dari United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). Organisasi ini menetapkan batik sebagai warisan budaya dunia tak benda atau intangible cultural heritage.
Batik Indonesia didaftarkan untuk mendapat status ICH melalui Kantor UNESCO di Jakarta oleh kantor Menko Kesejahteraan Rakyat mewakili pemerintah dan komunitas batik Indonesia, pada 4 September 2008. Menurut UNESCO, batik dinilai sebagai ikon budaya yang memiliki keunikan dan filosofi mendalam, serta mencakup siklus kehidupan manusia.
Lalu, Presiden SBY meminta seluruh masyarakat Indonesia mengenakan batiksetiap 2 Oktober.
Menurut maestro batik Iwan Tirta dalam bukunya A Play of Light and Shades, pada akhir abad ke-19 seorang akademisi bernama Rouffer melaporkan adanya motif batik sehalus gringsing diproduksi di Kediri pada abad ke-12. Corak batik tersebut menggambarkan sisik ikan.
Ini artinya, kemungkinan besar, motif batik tersebut dibuat menggunakan canting. Kemudian dalam perkembangannya, batik berkaitan erat dengan kesenian lain yakni wayang, tarian, dan lagu. Oleh karenanya, batik memiliki ciri yang terkait dengan komunitas pembuatnya. Bahkan, sebagian cirinya menggambarkan suasana zaman dan alam sekitarnya.
Batik pada perjalanannya kemudian diproduksi untuk keperluan komersial, meski sebagian lain ada juga yang menggunakan batik untuk melengkapi kebutuhan adat serta tradisi.
KOMENTAR ANDA