SETIDAKNYA empat nama ini luar biasa santer disebut di medsos. Sebagai hampir pasti masuk kabinet: Dr. K.H. Said Aqil Siradj, Grace Natalie, Angela Tanoesoedibjo, dan Yenny Wahid.
Bisa jadi nama-nama itu sendiri muncul di medsos tanpa sepengetahuan mereka. Yenny Wahid misalnya, sudah kebal dengan yang seperti itu.
Tapi mereka itu memang termasuk sebagian orang yang telah berkeringat. Dalam upaya mereka memenangkan Pak Jokowi.
Dan mereka itu memang layak juga menjadi menteri. Setidaknya menurut medsos tadi.
Apalagi Aqil Siradj. Boleh dikata kali ini NU habis-habisan. Di Pilpres lalu itu. Sampai umat Islam praktis seperti terbelah: antara modernis dan tradisionalis.
Yang modernis mengelompok di Prabowo. Bersama PKS, HTI, FPI dan alumni 212.
Yang NU kompak di pihak Jokowi.
Kampanye Prabowo-Sandi di Senayan dianggap sebagai puncaknya. Hari itu Pilpres seolah sudah selesai: umat Islam menunjukkan kekuatan besarnya. Berpihak ke Prabowo.
Para pemimpin Islam, khususnya yang di kelompok Prabowo, menganggap kali ini umat Islam bersatu. Solid. Sejak 212 sampai Senayan.
Mereka pun sangat silau dengan sukses Senayan itu. Sampai tidak memperhitungkan NU di Jatim. Yang sama sekali tidak terwakili di Senayan itu.
Sukses Senayan justru membuat NU mengkristal. Apalagi jauh sebelum itu sampai ada pembakaran bendera Ansor di Jabar.
Benar atau salah menjadi tidak penting lagi. Emosi sudah lebih di depan. Padahal Pilpres kemarin kunci terakhirnya di Jatim.
Semua pihak tahu: Jabar pasti dimenangkan Prabowo. Jateng pasti dimenangkan Jokowi. Jatim jadi penentu.
Sukses Senayan ternyata hanya meneguhkan kemenangan Prabowo di Jabar. Tapi kibaran bendera PKS dkk di Senayan justru kian membuat ”NU tidak di situ”.
Jokowi pun menang telak di Jatim.
Selesai.
Problem ini kelak juga akan dialami Aneis Baswedan. Kalau ia maju di Pilpres. Kalau jauh-jauh hari tidak menyelesaikan sentimen modernis-tradisionalis ini.
Dari sukses Jatim itulah rupanya banyak yang berhitung: Ketua Umum PBNU layak jadi menteri. Pos yang pantas adalah Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Yang jadi Menko ternyata justru dari warga Muhammadiyah: Muhadjir Effendy. Mantan Mendiknas. Yang sama sekali tidak disangka-sangka.
Mungkin ada perhitungan ini: empat menko itu harus dibagi. Militer dapat satu --Luhut Panjaitan, Menko Kemaritiman, Energi dan investasi.
Politik dapat satu --Airlangga Hartarto, Menko Perekonomian.
Sayap modernis dapat satu --Muhajir Effendi, mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang.
Tradisionalis mendapat satu --Mahfud MD, Menkopolhukam.
Mahfud memang NU. Madura pula. Anak emas Gus Dur. Tapi Mahfud juga terbilang sayap modernis (HMI) di NU.
Akankah ada jabatan wakil menteri untuk menyelesaikan kekecewaan-kekecewaan mereka yang sudah berkeringat itu?
Ataukah sebenarnya keringat itu sudah dibayar lunas justru sebelum bekerja dulu?
Banyak kepala daerah yang ketika maju Pilkada harus lebih dulu ”membeli perahu”.
Setelah terpilih pemilik perahu kecewa. Kok sang kepala daerah tidak mempedulilannya lagi. Kok seperti tidak ingat waktu jadi calon dulu --pakai kendaraan apa.
Banyak kepala daerah yang dengan enteng menjawab: saya memang pakai perahunya. Tapi kan sudah dibayar lunas di muka?
Setiap habis Pemilu banyak sekali yang kecewa. Apalagi yang sudah ge-er duluan. Atau yang merasa paling berkeringat.
Itulah kekecewaan lima tahunan. Kali ini bukan yang pertama. Dan pasti bukan pula yang terakhir.
Dalam kabinet ini ada juga sosok yang sama sekali tidak ingin jadi menteri. Malah jadi. Misalnya dr Mayor Jendral Terawan. Yang dipilih menjadi Menteri Kesehatan.
Orangnya suka mengalah. Pendiam. Tidak ingin jadi apa-apa. Pikirannya terpusat pada pengembangan terapi ”brain washing”.
Ketika Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menentang terapinya itu dr Terawan diam seribu basa. Ia tidak mau menjawab --apalagi melawan. Diwawancara media pun tidak mau.
Tapi ia terus mengembangkan terapinya itu. Lantaran banyak yang merasa tertolong. Saya menjalaninya dua kali. Istri saya sekali. Ribuan orang lagi yang antri.
Kini sudah banyak ”anak didik”-nya yang bisa melakukan terapi itu. Belakangan tinggal pasien tertentu yang langsung ditanganinya.
Saya masih ingat lagu kegemarannya. Yang selalu ia nyanyikan. Sambil menerapi pasiennya. Sampai yang dicubles jarum pun tidak terasa. Lagu itu kita kenal semua: doa ibu.
Muhadjir pun rasanya juga termasuk yang tidak berharap jadi menteri lagi. Saya masih ingat kata-katanya saat saya ke rumah dinasnya. Ia masih hafal lagu wajib pesantren. Ia selalu latihan pencak silat di pesantren kami di Magetan.
Pun Sofyan Djalil. Orangnya seperti itu.
Dunia terus berputar. Tidak mau menunggu para kecewawan dan kecewawati itu.
KOMENTAR ANDA