Foto : Ig @Meutya Vaida Hafid
Foto : Ig @Meutya Vaida Hafid
KOMENTAR

WAJAHNYA sering kita lihat membawakan berita di salah satu stasiun tivi. Seiring berjalannya waktu, perempuan bernama lengkap Meutya Vaida Hafid lini akhirnya tertarik terjun langsung ke politik.

Ia ditunjuk menjadi Ketua Komisi 1 DPR RI dari Fraksi Golkar.
Sebuah prestasi gemilang mengingat tak banyak perempuan di dunia politik apalagi di Komisi I.

Awal keberadaannya sebagai anggota DPR RI adalah ketika ia diusung oleh Golkar untuk menjadi anggota DPR

Pengganti Antar Waktu (PAW) di Komisi XI.  Meutya tak lama berada di Komisi yang membawahi Keuangan dan Perbankan. Ia berpindah ke Komisi I yang membidangi urusan Pertahanan, Luar Negeri, Komunikasi, dan Informasi.

Lulusan University of New South Wales, Australia, with a bachelor’s degree in engineering ini, merasa nyaman di Komisi I sesuai dengan latar belakangnya yang jurnalis.

Pada 11 Oktober 2007, pecinta yoga dan renang ini terpilih sebagai pemenang Penghargaan Jurnalistik Elizabeth O'Neill dari pemerintah Australia. 

Setelah 7 tahun mengabdi di bidang jurnalistik, Meutya menikah dengan Avian Eddy Putra Tumengkol seorang pemimpin redaksi Waspada Online, namun tali percintaan mereka harus putus setahun kemudian.

Kelahiran Bandung 3 Mei 1978 ini telah menerbitkan buku autobiografi "168 Jam Dalam Penyanderaan" yang merupakan pengalaman pribadinya.

Dalam sebuah wawancara tivi, Meutya mengisahkan pengalamannya.

Kala itu, tahun 2005, Meutya merupakan wartawan televisi yang sedang bertugas di Irak bersama rekannya, Budiyanto. Pada hari ketiga penyanderaan, Meutya sempat bercengkrama dengan seorang teroris yang kira-kira berusia 17 tahun. Hal yang lucu adalah orangtua dari teroris tersebut tidak tahu bila ia menculik orang.

“Hari ketiga, sudah agak longgar, sudah mulai bercanda. Anak muda usia 17 itu cerita ‘besok akan ada yang menggantikan saya untuk menjaga kamu’. Saya tanya, kenapa? katanya “karena saya bilang sama ibu saya kalau saya menginap di rumah tante’. Ibunya bahkan tidak tahu kalau anaknya menculik seorang wartawan,” bebernya.

“Orang-orang ini (para teroris) adalah orang biasa, yang kemudian negaranya diinvasi. Setiap hari dengar keluarganya mati. Saya aja yang 10 hari merasa tertekan karena suasana, ada jam malam, ke mana-mana diperiksa,” ujarnya.

Dari berbagai pengalaman tersebut, Meutya bisa menyimpulkan bahwa seseorang tidak dilahirkan untuk menjadi teroris. Ada proses hidup yang mengubah pola pikirnya.




Dari Bisnis hingga Politik, Jejak Karier Futri Zulya Savitri yang Inspiratif

Sebelumnya

Stella Christie, Ilmuwan Kognitif dan Guru Besar Tsinghua University yang Terpilih Jadi Wakil Menteri Dikti Saintek RI

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Women