Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

AKTOR laga legendari Bruce Lee ternyata memiliki "peran" tersendiri dalam gelombang protes anti-pemerintah yang terjadi di Hong Kong sejak sekitar lima bulan terakhir.

Salah satu kutipan terkenal sang aktor menjadi "jiwa" dalam gelombang unjuk rasa yang terjadi di Hong Kong tahun ini.

"Kosongkan pikiranmu. Jadilah tak berbentuk, tak berbentuk, seperti air. Jadilah air, temanku," begitu salah satu kutipan terkenal Bruce Lee.

Kutipan itu rupanya memiliki tempat tersendiri bagi para pengunjuk rasa Hong Kong yang menggunakannya sebagai salah satu slogan mereka.

"Mereka (pengunjuk rasa Hong Kong) benar-benar cair, dan kadang-kadang mereka berkumpul dengan sangat cepat dan mereka membubarkan dengan sangat cepat, dan itu benar-benar terlihat seperti air mengalir dan mengalir melalui berbagai bagian kota," kata asisten profesor Jurnalisme dan Pusat Studi Media di Universitas Hong Kong, Masato Kajimoto, seperti dimuat media Jepang NHK World pekan lalu.

Kajimoto menambahkan, salah satu hal yang membantu para pengunjuk rasa Hong Kong menjadi "begitu cair" adalah aplikasi pesan instan Telegram. Aplikasi tersebut memainkan peran penting dalam memungkinkan para pemrotes menjadi begitu cair.

Aplikasi yang diluncurkan pada tahun 2013 oleh programmer Rusia itu diketahui memiliki salah satu fitur utama, yakni keamanan. Aplikasi ini sangat terenkripsi dan pengguna dapat mengatur pesan atau akun menjadi "penghancuran diri".

Selain itu, fungsi seperti perpesanan grup dan saluran publik kerap digunakan para pengunjuk rasa. Melalui fitur tersebut, mereka dapat mendistribusikan pesan ke banyak orang secara instan. Grup Telegram sendiri dapat menampung hingga 200 ribu anggota.

Kajimoto mengatakan, aplikasi ini semakin populer, terutama di kalangan anak muda di Hong Kong ketika protes mulai meningkat. Para pengunjuk rasa kerap mendiskusikan waktu, lokasi dan metode protes dalam kelompok Telegram.

Lebih lanjut dia menambahkan, aplikasi tersebut memungkinkan gerakan protes berlangsung tanpa ada pemimpin yang mengorganisir massa. Aplikasi tersebut juga memungkinkan protes muncul dengan cepat dan bahkan kadang-kadang di beberapa lokasi.

Bukan hanya itu, aksi unjuk rasa juga tidak jarang ditentukan secara demokratis di grup. Pasalnya, grup Telegram memiliki fitur pemungutan suara sehingga anggota grup dapat memilih ke mana harus pergi dan apa yang harus dilakukan di sana.

Menurut Kajimoto, gelombang protes yang terjadi tahun ini di Hong Kong sangat berbeda dengan Garakan Payung tahun 2014 lalu. Menurutnya, Gerakan Payung adalah kebalikan dari "air" .

"Mereka (pengunjuk rasa) berada di satu tempat, dan menuntut hal-hal tertentu dengan sekelompok orang sebagai pemimpin mereka. Dan itu gagal. Jika Anda melihat strategi ini saat ini, itu 180 derajat kebalikan dari apa yang terjadi kemudian. Itu adalah gerakan tanpa pemimpin, dan mereka pergi ke berbagai tempat di Hong Kong," jelasnya.

Sementara itu, menurut seorang Profesor Universitas Rikkyo, yakni Toru Kurata yang meneliti politik dan masyarakat sipil di Hong Kong sejak wilayah itu kembali ke China, reaksi pemerintah Hong Kong terhadap Gerakan Payung tahun 2014 lalu membuat orang merasa tidak berdaya.

Karena itulah, gelombang protes tahun ini menjadi semacam "ajang" melepaskan kemarahan terpendam sejak Gerakan Payung gagal tahun 2014 lalu.




Gunung Lewotobi Kembali Meletus Disertai Gemuruh, Warga Diimbau Tetap Tenang dan Waspada

Sebelumnya

Timnas Indonesia Raih Kemenangan 2-0 atas Arab Saudi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News