Yohana Pamella Berliana Marpaung saat mengajar anak-anak Suku Rimba, Sarolangun, Jambi/Net
Yohana Pamella Berliana Marpaung saat mengajar anak-anak Suku Rimba, Sarolangun, Jambi/Net
KOMENTAR

KONDISI anak-anak orang rimba Mariyau di Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi, membuat hati  Yohana Pamella Berliana Marpaung  bergetar.

Ternyata masih ada orang rimba atau suku anak dalam yang tinggal membaur di bawah pondok tanpa dinding dan makan biji kelapa sawit karena sumber makanan di hutan yang semakin sulit ditemui.

"Ternyata masih ada orang di Indonesia yang hidup seperti itu,"  hatinya menangis.

Mereka tergusur ketika alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Anak-anak itu pun hidup di bawah pelepah daun dan jauh dari akses pendidikan.

Orang Rimba adalah salah satu suku terasing atau dikenal dengan sebutan komunitas adat terpencil yang ada di Provinsi Jambi.

Orang rimba di Jambi sering juga disebut sebagai Suku Anak Dalam (SAD). Sebutan orang rimba menjadi SAD ini disematkan oleh pemerintah mulai tahun 1970.

"Setelah gabung dengan KKI Warsi untuk menjadi tenaga pengajar atau guru untuk anak-anak orang rimba, aku sempat syok kasihan lihat kehidupan mereka," bisik Yohana miris.

Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) WARSI didirikan pertama kali sebagai lembaga jaringan dengan nama Yayasan Warsi (Warung Informasi Konservasi).

KKI Warsi menyebutkan jumlah populasi orang rimba mencapai 5.200 jiwa. Jumlah tersebut tersebar di beberapa kabupaten di wilayah Provinsi Jambi.

Selain tinggal di sekitar kawasan hutan, orang rimba juga hidup secara nomaden di sepanjang jalan lintas timur Sumatra Jambi.

Yohana adalah salah seorang pengajar atau guru untuk anak-anak orang rimba. Dia mulai aktif mengajar sejak beberapa bulan yang lalu. Usai melihat kondisi kehidupan anak-anak orang rimba yang hidup di tengah keterdesakannya itu, ia lalu bertekad harus berbuat sesuatu pada kelompok tersebut melalui pendidikan.

Lulusan Magister Ilmu Antropologi Budaya UGM ini mengakui tidak mudah mengajar di sana. Akses yang sulit dan banyak tantangannya.

Salah satunya malaria menjadi serangan penyakit yang paling dikhawatirkan, terutama di hutan Bukit Dua Belas yang merupakan endemik malaria.

Anak-anak rimba juga bukan seperti anak-anak umumnya. Cara mengajar anak-anak orang rimba perlu perlakuan khusus. Mereka lebih menyukai bermain atau mendengarkan dongeng.

"Anak-anak rimba itu sangat suka baca dongeng, biasanya aku yang baca dongeng dan nanti langsung diterjemahkan ke bahasa rimba, kalau enggak diterjemahkan mereka enggak ngerti," kata Yohana yang sejak mengajar di sana memdapat panggilan Juana.

"Sebab mereka tidak bisa ejaan Yo. Yo jadi Ju," terang Yohana.

Anak-anak rimba kebanyakan bergantung pada mood, Mereka tak suka didesak. Jika mood sedang bagus, mereka minta belajar seharian. Jika mereka tidak mau belajar, maka Yohana tidak bisa memaksakan.

Selain mengajari mereka, ternyata Yohana juga harus memenuhi kebutuhan makanan dan minuman selama belajar berlangsung.

Orang-orang rimba punya kebiasaan menyerahkan langsung anaknya kepada guru pengajarnya seharian.

"Di awal ngajar aku coba siapkan makanan untuk mereka. Cuma karena mereka enggak terbiasa, rasanya jadi aneh. Jadi akhirnya anak-anak rimba yang masak sendiri dan makan bersama sambil belajar," ujar Yohana yang mengaku sejak SMA sudah tertarik dengan kehidupan orang rimba.




Kementerian Agama Luncurkan Program “Baper Bahagia” untuk Dukung Ketahanan Pangan Masyarakat Desa

Sebelumnya

Fitur Akses Cepat Kontak Darurat KDRT Hadir di SATUSEHAT Mobile

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News