KOMENTAR

BISA Anda bayangkan, pergi mengajar dengan berperahu sekian kilometer menghadapi terjangan ombak besar dan kecil yang sering membuat baju basah?

Rupanya di pulau-pulau terluar di republik ini, hal itu menjadi pemandangan biasa. Akses yang sulit dan lokasi yang jauh di pedalaman, adalah bagian dari keseharian yang harus dihadapi para pengajar juga para peserta didik.

Salah satunya adalah Zaimah. Ia disebut guru perahu. Setiap hari harus menempuh perjalanan menuju tempatnya mengajar dengan berperahu.

Sudah empat tahun ia mengajar sebagai guru honorer di SMP N 48 Pulau Pecong, Kecamatan Belakang Padang kawasan Hiterland Kota Batam.

Anak-anak di Pulau Pecong adalah anak-anak dari keluarga nelayan yang tidak memperhatikan urusan pendidikan. Zaimah sendiri lahir dan dibesarkan dari daerah yang tergolong tertinggal dalam bidang pendidikan.

"Saya tak mau anak-anak di Pulau Pecong putus sekolah seperti teman-teman saya. Apalagi dulu anak - anak nelayan tidak diperhatikan urusan sekolahnya," kata Zaimah.

Zaimah pun mengampanyekan pentingnya pendidikan anak pulau. Ia dibantu guru-guru lain saat berkampanye pentingnya pendidikan.

"Penduduknya memang sekitar 200 KK, jenjang sekolah TK sampai SMA juga sudah ada. Tapi memang tak seperti di Batam," kata Zaimah.

Awal 2019, Hinterland atau pulau-pulau terluar mendapat prioritas pembangunan dengan masuknya listrik. Saat listrik sudah masuk, energi Zaimah kian berkobar. Itu adalah penantiannya sehingga anak-anak bisa belajar di rumah tanpa gelap-gelapan lagi.

Namun, prioritas pembangunan itu disusul dengan pembangunan tower seluler.  Yang ini selain membawa manfaat, juga membawa dampak buruk.

"Pendidikan di Pulau Pecong mendapatkan masalah setelah gawai atau telepon pintar masuk dan menjadi racun bagi anak. Game mengakibatkan semangat belajar anak- anak tidak fokus dan menyepelekan pelajaran,"  Zaimah menyayangkan.

Ia merasa sedih. Susah payah ia membangkitkan kesadaran akan pendidikan yang butuh waktu panjang, namun berantakan dalam sekejap dengan hadirnya gawai.

Untungnya, guru-guru di Pulau Pecong itu sepemikiran. Mereka sepakat untuk berkordinasi dengan sekolah secara kelembagaan. Sambil menunggu waktu yang tepat, Zaimah diam-diam mengawasi siswanya di luar jam sekolah.

"Di tempat kami sinyal susah, untuk mendapatkan sinyal harus di tempat yang tinggi. Dan saya menemukan anak-anak ramai-ramai berburu sinyal. Sedihnya bukan untuk berburu pengetahuan, namun untuk main game bareng," katanya.

Aktivitas siswanya di luar jam sekolah ini memunculkan keberanian untuk mengumpulkan gawai milik murid-muridnya saat jam pelajaran. Tentu hal ini atas restu Kepala Sekolah sebagai bentuk dukungan lembaga.




Dari Bisnis hingga Politik, Jejak Karier Futri Zulya Savitri yang Inspiratif

Sebelumnya

Stella Christie, Ilmuwan Kognitif dan Guru Besar Tsinghua University yang Terpilih Jadi Wakil Menteri Dikti Saintek RI

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Women