Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

PERKEMBANGAN teknologi, ekonomi dan sosial membawa serta pergeseran sudut pandang serta tradisi pada masyarakat. Tengok Korea Selatan sebagai salah satu contohnya.

Beberapa tahun belakangan, berkembang dengan pesat gerakan wanita yang menolak norma patriarki yang kaku serta bertekad untuk tidak akan berkencan, menikah, melakukan hubungan seksual dan memiliki anak. Gerakan semacam ini dikenal dengan nama "empat tidak" atau disebut juga oleh sosiolog sebagai "feminisme gelombang keempat" atau 4B.

Gerakan semacam ini muncul dari penolakan wanita di negeri ginseng atas "harapan tradisional" di mana peran laki-laki lebih mendominasi dalam lingkup rumah tangga maupun sosial. Mereka menentang peran tradisional wanita yang harus lebih banyak mengurus pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak, daripada pria.

Para feminis Korea Selatan berpendapat bahwa bahkan wanita yang paling berpendidikan pun ditakdirkan untuk menghadapi kenyataan yang merugikan di tempat kerja dan harus menghadapi banyak kesulitan rumah tangga setelah kehamilan.

Gerakan 4B di Korea Selatan mengklaim memiliki 4.000 anggota. Mereka menyebarkan keresahan serta ideologi mereka melalui berbagai sumber, termasuk saluran YouTube.

Bak dua sisi mata uang, gerakan ini memberikan dampak positif seperti mendorong kesetaraan gender dan hak serta upah di tempat kerja antara wanita dan pria. Namun di sisi lain, sejumlah analis mengkhawatirkan bahwa ideologi feminis radikal bisa memperburuk bencana demografi di Korea Selatan.

Kekhawatiran itu agaknya bukan omong kosong semata. Pasalnya, satu dekade lalu, hampir 47 persen wanita Korea Selatan yang belum menikah dan belum menikah mengatakan bahwa mereka percaya pernikahan itu perlu.

Namun pada tahun 2018 lalu, ketika pertanyaan yang sama dilontarkan, hasilnya jauh berbeda. Hanya sekitar 22,4 persen wanita di Korea Selatan, baik yang sudah ataupun belum menikah, mengatakan bahwa merka percaya pernikahan itu perlu.

Akibatnya, pada tahun 2018 lalu saja, jumlah pernikahan anjlok menjadi 257.600, dari 434.900 pada tahun 1996.

Selain itu, seperti dimuat Asia News, tingkat kesuburan total di Korea Selatan, yakni jumlah anak yang harus dimiliki seorang wanita dalam hidupnya, hanya mencapai angka 0,98 persen pada tahun 2018. Jumlah ini jauh di bawah angka 2,1 yang dibutuhkan untuk menjaga populasi tetap stabil.

Pemerintah Korea Selatan pun memperkirakan bahwa 55 juta penduduk di negara tersebut akan turun menjadi 39 juta jiwa pada tahun 2067.

Menghadapi kondisi tersebut, pemerintah Korea Selatan tidak tinggal diam. Pada akhir tahun 2019 kemarin, mereka meluncurkan serangkaian tindakan untuk mengatasi tantangan demografis. Langkah-langkah tersebut menyangkut bidang-bidang mulai dari tentara hingga sekolah. Selain itu, pihak berwenang mencoba mempromosikan pernikahan, menawarkan insentif bagi pengantin baru dan hipotek berbunga rendah.




Menutup Tahun dengan Prestasi, dr. Ayu Widyaningrum Raih Anugerah Indonesia Women Leader 2024

Sebelumnya

Meiline Tenardi, Pendiri Komunitas Perempuan Peduli dan Berbagi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Women