Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

SEJATINYA, setiap pasutri boleh jadi serupa mujahid cinta yang diutus Ilahi. Baju zirah yang dikenakannya dirajut dari doa-doa orangtua, dari doa-doa handai-taulan, dari munajat-munajat kiai atau ustaz atau guru saat buhul suci diikrarkan di depan penghulu. Senjata mereka dua senjata ampuh yang sejak sebelum menikah seyogyanya telah terbenam dengan apik di kalbu:  ibadah dan amanah. Keduanya tentu saja ada pada agama. Keduanya bermuara pada spirit mengikuti jejak Nabi, meniti jalan-Nya yang diridhai. Bukankah Rasulullah pernah berpetuah: separuh agama dan ibadah ada pada lembaga pernikahan?

Bayangkan setengah hidup kita bila ingin beramal shaleh dan berkah tidak perlu jihad jauh-jauh ke medan pertempuran yang berdarah-darah. Tidak perlu bersusah payah menyibukkan diri beramal  di luar urusan yang bukan keluarga. Tak aneh, bila Anda telisik empat syarat memilih pasangan, maka agama (ad-din) adalah domain paling utama dan vital, bukan kecantikan-ketampanan (al-jamal), bukan material (al-maal), bukan keturunan (an-nasl). Sebab, nantinya modal itulah yang paling bisa menuntun jihad dalam pernikahan. Tentu saja, agama bukan perkara yang mudah. Tapi, standar yang paling ciamik di ranah ini adalah pasangan yang mau menjalankan rukun iman dan rukun Islam plus akhlak yang luhur. Karena itulah, sebelum menikah, kuatkan dan tanamkan sejak dini bahwa "Saya menikah adalah saya beribadah; bahwa saya menikah adalah saya berjihad, bahwa saya menikah adalah saya mengemban risalah Ilahi dan Nabi Muhammad saw."

Dari niat yang kaffah itulah terbit: setiap pasangan adalah amanah, setiap suami merupakan amanah istri, setiap istri merupakan amanah suami. Keduanya saling bertanggung jawab lahir dan batin. Keduanya berusaha tidak menyakiti satu sama lain. Keduanya saling memahami posisi masing-masing untuk mewujudkan amanah dalam pernikahan. Dua hal inilah: ibadah dan amanah, yang menjadi senjata utama pernikahan bisa langgeng atau tidak.

Dalam satu riwayat, sebagaimana diterakan Prof. Quraish Shihab dalam Pengantin Alquran, suatu hari ada seorang pria datang kepada sahabat Umar bin Khattab ra. Ia mengutarakan rencananya untuk menceraikan istrinya kepada sang khalifah kedua tersebut. Apa yang dikatakan Umar? Begini: "Menceraikan? Kalau demikian, dimana engkau meletakkan amanah yang engkau terima?" Demikian jawab Umar seraya mengutip firman Allah yang berbunyi: "Bergaullah dengan mereka (istri-istri kamu) dengan baik, lalu seandainya kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah/jangan menceraikan). Mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." (QS. An-Nisa (4): 19).

Sementara itu, Nabi Muhammad saw sendiri pernah bersabda: "Bila amanah disia-siakan, maka nantikan masa kebinasaanya." (HR. Bukhari) Maka, sungguh mafhum perceraian banyak terjadi bila dua senjata jihad nikah ini lumpuh dan tumpul.

Mawaddah+Rahmah= Sakinah

Sakinah yang secara bahasa berarti ketenangan adalah produk mawaddah dan rahmah di dalam pernikahan. Peluru jitu untuk dua senjata para pejuang cinta yang penulis singgung sebelumnya adalah mawaddah dan rahmah ini.

Anda mungkin sangat hafal ketiga kata tersebut: sakinah, mawaddah, warrahmah. Pasalnya, ketiganya kerap sekadar gincu di kartu undangan. Ironisnya, ketiganya kerap terasa aus dan kering bagi kita. Hal ini boleh jadi, kita tidak lagi memikul senjata ibadah dan amanah sehingga tidak eling dimana kita menempatkan peluruh mawaddah dan rahmah selama ini. Boleh jadi, hanya Anda, ranjang Anda, dan Allah yang tahu.

Lalu, apa sesungguhnya dua peluru yang termaktub dalam QS. Ar-Rum, ayat 21 tersebut? Inilah penjelasan yang penulis pinjam dari Prof. Quraish: Mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Ia adalah "cinta plus"; hati yang menutup dan melapangkan segala pintu keburukan lahir dan batin (yang mungkin datang dari pasangannya). Dampaknya bisa terpancar dari perlakuannya terhadap pasangannya.

Sedang rahmah adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan sehingga mendorong yang bersangkutan (entah suami, entah istri)  untuk melakukan pemberdayaan. Karena itulah, dalam kehidupan berkeluarga, pasutri akan sungguh-sungguh dan bersusah payah mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang mengganggu dan mengeruhkanya. Buah dari sikap rahmah ini adalah kemurahan hati, kesabaran, dan kerendahhatian. Begitulah.

Mengapa senjata dan peluru tersebut dibutuhkan para mujahid cinta? Karena kelak dalam pernikahan bukan seindah mulut motivator, bukan serba ciamik di kartu undangan, bukan serba wah seperti dalam pesta walimatul 'ursy. Ada konflik. Ada gejolak. Ada musuh-musuh lahir dan batin yang bila kita tidak memiliki senjata dan peluru tersebut, kemenangan jihad pernikahan yang sakinah tidak akan tercapai. Wallahu'alam bilshawab.




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur