Tsuneko Sasamoto/Net
Tsuneko Sasamoto/Net
KOMENTAR

DI saat wartawan foto belum menjadi profesi yang menjanjikan dan banyak dilirik, seorang wanita di Jepang bernama Tsuneko Sasamoto telah lebih dulu menggeluti profesi tersebut. Dia bahkan menjadi wartawan foto pertama di Jepang.

Tercatat sudah lebih dari 70 tahun, Sasamoto bergelut dengan lensa kamera untuk mendapatkan hasil foto terbaik untuk menjadi "jendela" bagi banyak warga Jepang agar dapat mengetahui kabar atau situasi terkini di Jepang.

Wanita kelahiran 1 September 1914 resmi menginjak usia satu abad pada bulan September tahun 2014 lalu. Di usia senjanya, dia mengaku masih melakoni kegemarannya menangkap gambar dengan kamera.

Mengutip Japan Times, Sasamoto lahir pada tahun 1914 di Shinagawa Ward, Tokyo. Ayahnya adalah seorang pedagang kimono. Sebelum menemukan ketertarikan di dunia foto jurnalistik Sasamoto mengaku bahwa dia tertarik menjadi pelukis, novelis atau wartawan.

Dia baru mulai menggeluti dunia fotografi pada usia 26 ketika muncul organisasi foto dan dia bergabung di dalamnya. Sejak saat itulah, kecintaannya pada dunia foto jurnalistik muncul dan dia menjadi wartawan foto wanita pertama di Jepang.

Sepanjang karirnya, dia memotret banyak kejadian, peristiwa, suasana serta tokoh. Subjeknya mencakup banyak hal, mulai dari warga miskin yang mencari nafkah di tahun-tahun pasca-perang, hingga mahasiswa yang melakukan protes dan memukul para penambang batu bara ketika negara tersebut lepas landas secara ekonomi di tahun 1960-an yang penuh gejolak politik.

Selain itu, Sasamoto juga pernah ditugaskan untuk memotret Jenderal Douglas MacArthur. Dia bahkan meminta Panglima Tertinggi Sekutu Amerika Serikat itu dan istrinya untuk berpose lagi, menggunakan bahasa Inggris yang dipelajari di sekolah. Padahal, di bawah Pendudukan Amerika Serikat pada saat itu, fotografer dilarang berbicara dengan mereka.

Sasamoto mengenang masa tersebut dan mengatakan bahwa wartawan foto pada saat itu memiliki banyak keterbatasan, karena mereka harus menggunakan bola lampu untuk setiap pemotretan.

Karena kamera berat tidak memiliki flash elektronik, maka dia harus mengemas tasnya dengan lampu kilat. Namun dia mengaku bahwa hal itu bukanlah masalah terbesarnya.

"Yang paling menyusahkan saya adalah kenyataan bahwa wanita harus mengenakan rok dan sepatu hak tinggi ketika mereka bekerja," katanya. Hal itulah yang membuat wanita mereka sulit untuk naik tangga untuk mengambil gambar dari sudut yang lebih tinggi dan lebih baik.

Bukan hanya itu, sebagai seorang wanita, dia juga harus menanggung komentar diskriminatif yang biasa dibuat oleh para pejabat dan birokrat lain yang dia ambil gambarnya. Terlepas dari itu semua, kerja kerasnya dikenang dalam sejarah sebagai wartawan foto pertama di negeri sakura.




Menutup Tahun dengan Prestasi, dr. Ayu Widyaningrum Raih Anugerah Indonesia Women Leader 2024

Sebelumnya

Meiline Tenardi, Pendiri Komunitas Perempuan Peduli dan Berbagi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Women