“PERS kita memang sering over dosis. Sibuk urusan printil-printil. Akrab dengan sensasi. Menjauh dari substansi.”
Bagi para jurnalis muda, Ilham Bintang (IB) adalah mahaguru. Sebagai wartawan, integritas dan karyanya selama lebih dari lima dekade menjadi saksi perjalanan bangsa ini. Bahkan Karni Ilyas memuji Ilham yang konsisten menulis di tengah segudang aktivitasnya di dunia jurnalistik, pertelevisian, politik, hingga hiburan Tanah Air.
Membaca pengantar dan testimoni yang ditulis tokoh-tokoh terkenal seperti Karni Ilyas, M. Nuh, Rocky Gerung, juga Yahya bersaudara—Tantowi dan Helmy, jelas membuka mata pembaca tentang sosok Ilham Bintang.
Satu hal yang sampai detik ini masih membuat takjub adalah bagaimana IB menggagas program infotainment—yang masih menyisakan pro-kontra terkait statusnya sebagai produk jurnalistik. Di awal kemunculan Cek & Ricek tahun 1990-an, bisa jadi konsep jurnalistik menjadi panduan karena IB mengawalnya dengan tujuan menghadirkan berita seputar artis, tanpa gosip.
Namun, kembali ke kalimat di atas: “Pers kita memang sering over dosis. Sibuk urusan printil-printil. Akrab dengan sensasi. Menjauh dari substansi.” Kalimat yang ada dalam judul tulisan “Jangan Ratakan Kantor Kami dengan Tanah” (hal.24) itu menohok karena saat ini terlihat begitu nyata.
Lama-lama, perkara satu orang menjadi overexposed. Sekali terbukti memanen rating, topik itu akan ‘digoreng’ hingga overcooked. Jika info untuk hard news sudah basi, maka info-info soft news yang ada di kanan-kiri-depan-belakang-atas-bawah semua dikupas. Meski seringkali sumber yang ditampilkan tidak punya kompetensi dan kapabilitas untuk memberi informasi, tak mengapa. Yang penting sensasi terpampang nyata. Kini beberapa tayangan infotainment memilih jalur investigasi dan wawancara mendalam tentang artis. Bisa jadi, dilatari semangat untuk back to the track, agar apa yang disajikan tetap tercium bau jurnalistiknya.
Buku Surat-Surat Wasiat Mendiang Nana awalnya membuat kening sedikit mengernyit. Bagi yang awam dan tidak akrab dengan tulisan- tulisan IB, pasti bertanya. Siapa Nana? Bahkan setelah melihat wajahnya di sampul depan, sambil mengingat-ingat nama selebriti, tidak juga ada yang nyangkut. Kenapa Nana?
Setelah membacanya, kisah Nana seolah menjadi satu ‘rangkuman’ dari sekian reportase jurnalistik di buku ini. Buku yang membuka mata tentang apa yang terjadi dalam lima tahun terakhir di sekitar kita. Memperluas wawasan tentang agama, sejarah, politik, dunia pertelevisian, hingga budaya. Mengajak pembacanya untuk menjadi profesional dalam menjalani peran sebagai manusia beradab.
Nama-nama seperti Alm. Alex Kumara dan para pemimpin redaksi senior lainnya, Airlangga Hartarto, Najib Razak, Mahathir Muhammad, Habib Rizieq Shihab, hingga Raam Punjabi menjadi bukti bahwa IB memang seorang wartawan sejati. Kenalan di mana- mana, pergaulan teramat luas, perjalanan hidup yang sangat berwarna dan dinamis.
Dari wartawan Harian Angkatan Bersenjata menjadi infotainment mogul. Namun, hebatnya, tidak menghalangi IB untuk menjaga netralitas politik dan tetap kritis. Dan sebagai orang Bugis, nilai-nilai keislaman yang ia pahami dan jalani menjadi kekuatan untuknya menjalani peran sebagai ayah, kakek, pemimpin, guru, dan sahabat bagi orang-orang yang mengenalnya.
Nana adalah ‘mercusuar’ yang mengingatkan untuk tidak menyia- nyiakan waktu yang Allah Swt. berikan di dunia untuk terus menyuarakan kebenaran dan menginspirasi lahirnya kebajikan dan kebaikan yang bermanfaat bagi umat manusia. Ketika kita sudah mampu do the best, tidak ada penyesalan. Yang ada hanyalah kesiapan kita menghadapi hari esok.
Seperti yang dilakukan Shabrina Evaswantry Binti Novizar Swantry alias Nana.
KOMENTAR ANDA