APAKAH Shalat kita adalah shalat yang—acapkali—terburu-buru? Apakah Shalat kita ialah shalat yang senantiasa menunda-nunda?
Maaf, sebelumnya. Agar tidak kecele, sejak dini, saya perlu tegaskan: tulisan ini bukan ihwal cinta yang aduhai tertib dalam imaji anda: dua sejoli yang asyik-masyuk, kemudian menikah, lalu beranak-pinak dan kemudian menua hingga ajalnya. Atau: sepasang kekasih yang saling mencintai, lalu berpisah, dan kemudian kesepian di akhir hayatnya.
Bukan, Saudariku. Ini bukan tentang cinta itu. Ini cinta yang lain yang saya pun ragu bisa melakoninya; cinta teramat subtil, yang begitu indah dan memesona ke dalam jiwa, cinta yang setiap desir dan hembusannya, yang saya masygul mampu meraihnya. Ini cinta yang terjadi di dalam ibadah anda: shalat. Semoga tidak menjadi klise karena ia laku prinsipil yang kudu ditunaikan setiap hari.
Syahdan, dalam satu hadis, Rasulullah saw. pernah bersabda: “Jika seorang hamba berdiri di dalam shalatnya, Allah Swt. mengangkat tirai yang menghalangi antara Dia dan hamba-Nya itu, lalu Dia pun menghadapinya dengan “Wajah”-Nya. Malaikat berbaris, mulai dari kedua bahunya sampai ke langit, bershalat mengikuti shalat-nya dan mengucapkan amin atas doanya. Dan sesungguhnya, seorang yang sedang bershalat ditaburi segala kebajikan dari puncak langit sampai garis pembatas rambut di kepalanya. Di saat itu, bahkan terdengar suara: “Sekiranya hamba yang sedang bermunajat ini menyadari siapa yang diajaknya bermunajat, niscaya ia tidak akan menoleh ke arah mana pun.” Dan sesungguhnya, pintu-pintu langit terbuka bagi orang-orang yang bershalat. Sedangkan Allah swt menunjukkan kebanggaan-Nya di antara para malaikat berkenaan dengan hamba-Nya yang sedang bershalat.”
Sungguh, siapa yang bisa menampik anugerah dahsyat dari Allah tersebut? Ketersingkapan Diri-Nya untuk sang hamba. Berlimpahnya kebajikan untuk hamba-Nya. Meluapnya kasih-Nya untuk mereka yang tengah sembahyang. Bahkan, yang luar biasa, Dia bangga-banggakan hamba-Nya yang shalat itu di hadapan para malaikat-Nya.
Persoalannya, berapa banyak di antara kita yang mengkhidmati shalat dengan kesadaran demikian? Berapa banyak di antara kita yang memperlakukan shalat sebagai medan pertemuan antara sang abid dengan Tuhannya? Berapa persen jumlah muslim yang menjadikan shalat sebagai laku cinta selayaknya sang kekasih bertemu pujaan hatinya?
Shalat kita adalah shalat yang—acapkali—terburu-buru. Shalat kita ialah shalat yang senantiasa menunda-nunda. Shalat kita adalah shalat yang membiarkan kecamuk benak dengan hal-hal duniawi. Bukankah urusan ini-itu di luar ibadah kerap terbawa ketika kita menunaikan shalat? Bibir boleh mengucap Asma-Nya, tapi sanubari luput mengingat Nama-Nya. Bukankah yang demikian laku munafik seorang hamba yang katanya selalu merindukan nikmat dan Kasih-Nya?
Ah, maaf sekali, Saudariku. Anda barangkali tidak demikian. Ini hanya terjadi pada saya, pada shalat-shalat saya, yang kerapkali tidak menghadirkan hati saat bersimpuh di hadapan-Nya, yang suka mengabaikan petuah Nabinya berikut ini: “Laksanakanlah shalat seakan shalat yang engkau lakukan adalah shalat terakhir. Dan tatkala engkau mulai memasuki shalat, katakanlah (kepada dirimu),“ini adalah shalat terakhir saya untuk dunia.”
Dan berupayalah untuk merasakan bahwa surga berada di hadapanmu dan neraka berada di bawah kakimu; ‘Izrail ada di belakangmu, para nabi ada di sisi kananmu, dan para malaikat ada di samping kirimu. Dan Allah mengawasimu dari atas kepalamu.”
Barangkali, shalat saya memang bukan shalat yang, meminjam bahasa Chairil Anwar, “aku hilang bentuk, remuk, saat beribadah kepada Rabb Azza wa Jalla, bukan shalat yang “di pintu-Mu aku mengetuk, aku tidak bisa berpaling.” Astagfirullahal’adzim...
KOMENTAR ANDA