Catatan A.R. Loebis
Wartawan Senior
PUNDAKNYA terlihat bergetar halus, mata berkaca-kaca dan ia berkali-kali menarik nafas panjang, ketika kedua tangan Auri Jaya bergerak ke atas kepalanya untuk mengalungkan untaian kalung emas, apalagi di kanan kirinya berdiri Ketua PWI Pusat dan Sekjennya, Atal S Depari dan Mirza Zulhadi.
Disaksikan ratusan pasang mata, termasuk orang nomor satu di Kalimantan Selatan, Gubernun H Sahbirin Noor, suasana jadi berbanding terbalik dibanding ketika wanita berusia senja itu biasanya duduk serius memandang layar komputer di salah satu pojok sepi di ruang sekretariat PWI Pusat di Jalan Kebon Sirih, Jakarta.
Setelah Ketua Panpel HPN 2020 Auri mengalungkan penghargaan itu ke leher wanita bernama Taty Fatimah Mansyur – yang akrab dipanggil Ibu Taty -, orang pun berebut memotretnya. Senyum ibu yang lahir di Sukabumi pada 21 Januari 1948 itu mulai merekah, pandang matanya berbinar-binar.
“Pengabdian Ibu Taty luar biasa dari tahun ke tahun dari zaman ke zaman. Paling tidak dia sudah 50 tahun mengabdi di PWI Pusat. oleh karena itu PWI Pusat memberikan penghargaan kepada beliau. Semoga bisa menjadi semangat baru untuk terus mengabdi pada dunia pers,” kata Atal.
Usianya kini sudah 72 tahun, tapi masih gesit dan ingatannya kuat, dapat dibayangkan betapa semangat dan cekatan kiprahnya saat ia mulai bekerja sejak pada1970, ketika ia berusia 22 tahun dan masih kuliah.
“Ibu itu masih kuat sekali. Saya melihat ia mengangkat barang-barang berat,” kata Tony “Ino” Bramantoro, staf bidang Humas HPN 2020, yang ruangannya bersebelahan dengan sekretariat panitia di Tulip Golden Hotel Banjarmasin – tempat Ibu Taty melayani tamu yang meminta buku, karena si ibu juga, sebagai staf pada bidang penerbitan buku HPN 2020, selain menangani berbagai urusan lainnya.
Ibu Taty Terharu
“Momen amat menggembirakan, sekaligus mengharukan bagi saya yang sudah 50 tahun mengabdi di PWI Pusat. Saya tidak menyangka akan menerima penghargaan,” kata Ibu Taty mengomentari pemanggilan namanya ke atas panggung.
Ia menuturkan, ia bekerja di PWI Pusat pada awalnya mengerjakan kliping berita koran dari seluruh Indonesia dan pada 1972 – 2008 diberi tugas sebagai sekretaris Ketua Umum PWI Pusat, dan membantu Ketua Umum SIWO Pusat pada 1972 – 2010.
“Selama bekerja di PWI Pusat saya banyak mendapat ilmu pengetahuan, wawasan dan pengalaman yang tidak mungkin dilupakan. Saya banyak mengunjungi kota di seluruh Indonesia. Ini mungkin tidak dialami kalau tidak bekerja di PWI Pusat,” kata Ibu Taty, yang kerap mendapat tugas daerah.
“Saya selalu tertantang untuk lebih giat bekerja dan mendalami apa yang saya kerjakan. Karena merasa sudah begitu menyatu dengan PWI, saya merasa sedih kalau ada yg orang menjelek-jelekkan PWI,” tuturnya kepada mimbar-rakyat.com, Minggu sore.
Sejak 1972 hingga sekarang, Ibu Taty sudah mengalami pergantian 10 ketua umum PWI. Mereka adalah H. Mahbub Djunaedi, BM Diah, Rosihan Anwar, Harmoko (dua periode), Atang Ruswita, Zulharmans, M. Soegeng Widjaja, H. Sofyan Lubis, Tarman Azzam (dua periode), Margiono (dua periode).
“Semua ketua umum menurut saya baik dan perhatian terhadap karyawan. Dari semua ketua umum selalu saya ambil ilmunya yang ternyata sangat berharga untuk dijadikan pelajaran dalam kehidupan sehari-hari,” tambahnya.
Dari semua ketua itu yang tidak dapat dilupakan Ibu Taty adalah ketua periode 1973-1983 yang dipimpin H. Harmoko, karena Harmoko yang pertama kali memberikan kepercayaan kepadanya menjadi sekretaris ketua umum.
“Ketika itu saya mulai berhubungan dengan mitra-mitra PWI. Dan yang paling saya ingat, beliau selalu mengingatkan .. Jangan lupa sholat dan puasa sunnah,” kata Ibu Taty.
Selama sekitar 50 tahun, Ibu Taty menyerap “ilmu kebaikan” dari 10 ketua umum PWI, sehingga dapat dibayangkan betapa luas pengetahuan ibu itu – terutama mungkin dalam hal membaca karakter dan cara berbuat baik serta mengayomi orang lain.
Kini, Ibu Taty masih terus menimba ilmu dan cara mengayomi orang, melalui Ketua Umum PWI saat ini, H Atal S Depari. Semoga.
KOMENTAR ANDA