Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

"TENGKORAK-tengkorak itu pernah punya cita-cita dan hasrat serupa cita-cita dan keinginanmu..."

Sahabat, betapa rapuhnya semua yang serba duniawi. Betapa koyaknya segala yang pernah indah dan wah, kelak, di suatu masa. Termasuk busana. Termasuk fesyen yang pernah membuat kita anggun dan memesona dan—diam-diam—kita merasa lebih (hebat) ketimbang lainnya. Bahwa teman Anda kurang modis. Tidak fashionable. Bahwa perempuan lain bukan tipikal manusia yang asyik untuk diajak hangout dan bersosialisasi.

Bayangkan, saat pikiran dan perasaan itu merasuki benak Anda dan saat itu juga, tetiba maut menyapa Anda. Mungkin hikayat berikut ini bisa menjadi petuah terbaik sebelum semuanya terlambat.

Suatu kali, Rasulullah saw. bertanya kepada Abu Hurairah. "Hai Abu Hurairah, pernahkah kuperlihatkan kepadamu tentang dunia dan segenap isinya?" "Belum, ya Rasulullah", jawab Abu Hurairah, yakin.

Sejurus kemudian, Nabi menggandeng tangan Abu Hurairah dan mengajaknya berkunjung ke satu jurang di dekat Madinah yang isinya tulang belulang manusia. Tengkorak berserakan. Rambut-rambut dan bulu-bulu manusia tercerabut. Berhamburan. Jejak pakaian koyak di sana sini. Berserakan entah ke mana.

Lalu, Nabi berkata: "Abu Hurairah, tengkorak-tengkorak itu pernah punya cita-cita dan hasrat serupa cita-cita dan keinginanmu, pernah juga berpikir dan berandai-andai selayaknya yang bernaung di benakmu sekarang ini. Kini, Abu Hurairah, tengkorak-tengkorak itu hanya tulang belulang yang tidak dibalut kulit lagi, ia hancur menjadi debu yang tertiup angin ke sana- ke mari. Segala kotoran yang berhamburan itu adalah senarai makanan lezat yang pernah memuaskan lapar dan dahaganya, pernah memuaskan aneka cita rasa kelezatannya, dan kini berhamburan dari perut mereka, dijadikan kayu api dan onggok pembakaran kotoran oleh musafir yang lalu lalang.

Ya, Abu Hurairah, kain-kain buruk dan perca yang engkau lihat berserak di sana-sini berasal dari selendang dan pakaian mereka selagi hidup. Sekarang, ditiup angin ke sana-ke mari tiada bernilai. Sedang, tulang-belulang, selain dari kerangka mereka sendiri, adalah tulang belulang kendaraan manusia yang membuat dirinya merasa megah, yang membawanya dengan segala kebesaran dari desa ke desa, dari kota ke kota, sekarang beginilah keadaanya. Karena itulah, sesiapa yang ingin menangis di dunia ini, menangislah sepuas-puasnya."

Begitulah. Busana. Kendaraan. Segala yang kita kenakan. Segala yang pernah menerbitkan takabur, baik secara sirr (rahasia) maupun terang-terangan kelak akan berkalang tanah, berserak, menjadi bukan apa-apa. Fana. Wallahu’alam bishshawab. (F/ Sumber: buku Prof. Abu Bakar Aceh, Sejarah Sufi dan Tasawuf)




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur