RANCANGAN Undang-Undang atau RUU tentang Ketahan Keluarga yang memicu kontroversi di masyarakat sejak beberapa waktu belakangan sebenarnya mengandung nilai-nilai luhur yang bermuara pada pembangunan negara.
"Keluarga adalah unit atau kounitas terkecil dalam negara. Sehingga, nilai-nilai dasar yang diterapkan dalam keluarga bisa memiliki dampak yang signifikan juga pada negara," kata legal advisor, Citra Judexinova, S.H., M.Kn kepada Farah (Rabu, 26/2).
Untuk diketahui bahwa RUU tentang Ketahanan Keluarga tersebut di antaranya mengatur soal hak dan kewajiban suami-istri dalam kehidupan perkawinan dan keluarga.
RUU itu sendiri saat ini telah masuk dalam Prolegnas Prioritas DPR. Regulasi ini diajukan oleh lima politisi, yaitu Netty Prasetiyani dan Ledia Hanifa dari Fraksi PKS, Endang Maria Astuti dari Fraksi Partai Golkar, Sodik Mudjahid dari Fraksi Partai Gerindra, serta Ali Taher dari Fraksi PAN.
Namun, sejumlah poin dalam draf RUU tersebut menjadi sorotan serta menimbulkan perdebatan di masyarakat, terutama di sosial media. Salah satu poin yang jadi sorotan banyak pihak adalah soal aturan kamar orangtua, anak laki-laki dan perempuan harus dipisah.
Dalam Pasal 33 Ayat (1) RUU tentang Ketahanan Keluarga itu disebutkan bahwa setiap keluarga bertanggung jawab untuk memenuhi aspek ketahanan fisik bagi seluruh anggota keluarga, berupa antara lain:
a. Memenuhi kebutuhan pangan, gizi dan kesehatan, sandang, dan tempat tinggal yang layak huni;
b. Mengikutsertakan anggota keluarga dalam jaminan kesehatan;
c. Menjaga kesehatan tempat tinggal dan lingkungan.
Kemudian pada Pasal 33 Ayat (2) dijelaskan lebih lanjut soal tempat tinggal yang layak huni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. Tempat tinggal layak huni yang dimaksud harus memiliki karakteristik antara lain:
a. Memiliki sirkulasi udara, pencahayaan, dan sanitasi air yang bai
b. Memiliki ruang tidur yang tetap dan terpisah antara Orang Tua dan Anak serta terpisah antara Anak laki-laki dan Anak perempuan;
c. Ketersediaan kamar mandi dan jamban yang sehat, tertutup, dapat dikunci, serta aman dari kejahatan seksual.
Terkait pasal tersebut, Citra menilai penekanan dalam moral merupakan tujuan utama.
"Saya ambil contoh kasus inses (hubungan sedarah) baru-baru ini di Padang di mana seorang kakak perempuan berusia 18 tahun yang dihamili oleh adiknya laki-lakinya sendiri yang baru berusia 13 tahun," ujarnya.
"Hal ini bisa terjadi karena banyak faktor, di antaranya adalah kurangnya pengawasan orangtua, kurangnya pendidikan seksual, perkembangan teknologi yang mempermudah banyak informasi masuk namun tanpa bimbingan atau pengarahan yang baik dari orangtua," jelas Citra.
Karena itulah dia menilai, RUU tersebut, khususnya pasal mengenai pemisahan kamar tidur anak laki-laki dan perempuan itu perlu diberlakukan. Tujuannya adalah supaya ada payung hukum yang jelas untuk melindungi keluarga dari kemungkinan kasus serupa.
"Ini sekaligus juga merupakan bentuk pendidikan seks sejak dini yang diawali dari keluarga. Ketika pendidikan semacam itu sudah tertanam kuat dari keluarga, maka akan berdampak pula pada perilaku anak di masyarakat umum," demikian Citra.
KOMENTAR ANDA