DALAM kepasrahan, air mata yang jatuh adalah bagian dari doa. Di setiap tetesnya, terukir munajat dari hati terdalam.
Manakala seorang hamba dirundung masalah bertubi-tubi, tentulah ia akan ‘berteriak’ minta tolong melalui doa. Untaian munajat yang dipanjatkan kepada Sang Maha Kuasa untuk dikabulkan, yang tak henti dilantunkan seusai salam penutup shalat.
Doa, sejatinya berisi kepasrahan. Dalam kepasrahan, air mata yang jatuh adalah bagian dari doa. Yang di setiap tetesnya, terukir munajat dari hati terdalam.
Kepasrahan adalah sebuah kondisi yang tak bisa direkayasa. Meski bibir berulang kali berucap “saya ikhlas” atau “saya pasrah” namun hati masih dibentengi ketakutan atau kebencian yang berlebihan, maka kita tak akan pernah bisa berpasrah.
Sulitnya berpasrah bisa jadi dirasakan banyak dari kita. Sebabnya karena kepasrahan senapas dengan taubat. Seiring sejalan. Jika kita bersungguh-sungguh dalam taubat, hati akan berjalan menuju kepasrahan. Meyakini dengan segenap jiwa raga bahwa semua yang terjadi adalah qadarullah, ketentuan Allah yang telah digariskan sejak lampau. Dan qadarullah itu pasti membawa kebaikan meski kita tak bisa melihatnya.
Taubat, pasrah, lalu yakin. Tiga hal ini harus menjadi ruh dalam doa yang kita panjatkan. Di sanalah kunci doa dikabulkan. Sayangnya, menghadirkan tiga hal itu bukan perkara mudah.
Dari Abu Hurairah ra., dia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR Tirmidzi)
Hati yang lalai adalah hati yang tidak bisa teguh untuk menghadirkan taubat, kepasrahan, dan keyakinan. Sama halnya dengan menjalankan ibadah hanya sebagai rutinitas belaka, hanya aktivitas fisik yang tidak didukung hati dan pikiran.
Kita bisa bertanya ke dalam lubuk hati, jikalau kita diliputi keraguan, akankah Dia sudi mengabulkan doa kita? Bagaimana mungkin kita meminta kepada Khalik yang kita tidak meyakini kekuasaanNya? Mengapa meminta tapi meragukan? Sungguh dua hal yang bertentangan.
Karena itulah, ketika kita ‘mendekati’ Allah dengan untaian air mata dan kepasrahan teramat dalam, hati kita harus yakin bahwa Allah Maha Mendengar dan Maha Kuasa untuk mengabulkan permohonan kita.
Bukankah kita selalu melantunkan Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in di setiap rakaat shalat? Maka doa harus selalu dilandasi keyakinan bahwa “Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami mohon pertolongan.”
Setelah berusaha memperbaiki kesalahan dan menyelesaikan kewajiban kita terhadap sesama manusia, yang tersisa untuk menjadi kekuatan kita menghadapi hidup adalah doa. Doalah yang membuat kita bertahan karena kita yakin Allah akan mengabulkan permohonan kita.
Tanpa kekuatan itu, tentulah kita akan merasa hidup segan mati tak mau. Serba salah. Serba mentok. Otak tak bisa berpikir jernih. Pikiran buntu. Seolah semua jalan tertutup untuk kita. Lantas kita tak bisa lagi berjalan tegak karena setiap hari kita justru terpuruk dan kian terpuruk.
Bismillah. Ingat selalu qadarullah adalah yang terbaik bagi kita meski kita tidak mampu segera memahami hikmahnya. Jadikan taubat, pasrah, dan yakin sebagai sahabat terbaik agar kita tak mudah menyerah dalam doa.
KOMENTAR ANDA