ISLAM adalah agama yang bersemangat dalam memotivasi penganutnya dalam berderma. Bila merujuk pada Al-Qur’an, bantuan yang terbaik itu dilakukan ketika, “...sekalipun mereka sedang dalam kesusahan." (terjemahan surat al-Hasyr ayat 9).
Dalam prakteknya, Nabi Muhammad mendorong mulai dari keluarganya sendiri agar gemar berderma.
Dalam sejarahnya, keluarga Rasulullah tidak senantiasa dalam kondisi berkecukupan, adakalanya keluarga mulia itu mengalami masa-masa berkekurangan, di antaranya Nabi Muhammad tidak mendapati makanan di rumah sehingga beliau memutuskan untuk berpuasa.
Namun apapun kondisinya, susah maupun senang, sempit atau lapang, kaya atau miskin, yang namanya semangat berderma senantiasa dikobarkan. Sehingga pernah dalam suatu kesempatan, Rasulullah menganjurkan istrinya memperbanyak kuah tatkala memasak, tujuannya agar memiliki kesempatan berbagi dengan tetangga.
Suatu ketika istri-istri beliau berkumpul, dan harapan mereka tetap mendampingi Nabi Muhammad dari dunia sampai akhirat (baca: surga). Dari itulah mereka bertanya, “Siapakah di antara kami yang akan terlebih dahulu menyusulmu ke akhirat?” Kisah yang tercantum pada kitab Shahih Muslim ini berujung dengan indah, ketika Rasulullah berkata, “...yaitu yang paling panjang tangannya.”
Dengan bergegas istri-istri Rasulullah saling mengukur dan memperbandingkan panjang tangan masing-masing. Akhirnya, dan ternyata, ukuran tangan Saudah yang lebih panjang.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya setelah Nabi Muhammad meninggal dunia, ternyata yang duluan wafat menyusul suami tercinta bukanlah Saudah, melainkan Zainab binti Jahsy. Akhirnya istri-istri Rasulullah paham, ‘panjang tangan’ itu mengandung makna majazi atau kiasan, yang maksudnya yang pemurah alias suka berderma.
Terbukti, Zainab merupakan istri yang paling istiqamah mengamalkan arahan suaminya agar rajin berderma. Lagi pula Zainab merupakan pengrajin qirbah (wadah air yang terbuat dari bahan kulit) yang dari hasil bisnisnya itu membuat dirinya semakin punya banyak kesempatan bersedekah.
Secara lebih mendalam, dapat kita lihat betapa pentingnya peran suami dalam membangun semangat berderma di dalam keluarganya. Nabi Muhammad membangun mentalitas bersedekah itu dimulai dari rumah tangga. Siapapun dapat bersedekah, meski pun hanya dari makanan yang dimilikinya. Maka terpujilah ibu-ibu yang masih menjaga tradisi berbagi makanan dengan tetangga, karena dirinya termasuk yang dicintai Rasulullah dan insyallah bersama beliau di surga, aamiin.
Tidak ada orang yang rugi karena bersedekah, karena sedekah itu mendatangkan pahala yang besar. Sedekah pula yang membuka pintu-pintu rezeki bagi kita. Alih-alih melarang atau menghambat, hendaknya suami-suami yang berperan aktif mendorong keluarganya dalam urusan sedekah. Karena di setiap sesuatu yang disedekahkan istri, suami juga memperoleh pahalanya sekaligus berkahnya.
Hal ini diterangkan dalam hadis, Muhammad bin Al-Mutsanna menceritakan kepada kami, Muhammad bin Ja’far memberitahukan kepada kami, Syu’bah memberitahukan kepada kami dari Amr bin Murrah, ia berkata, aku mendengar Abu Wa`il menceritakan (suatu hadis) Aisyah, dari Nabi Saw., beliau bersabda, “Apabila seorang istri bersedekah dari rumah suaminya, maka ia memperoleh pahala. Suaminya dan orang yang menyimpannya juga memperoleh pahala yang serupa. Masing-masing di antara mereka tidak mengurangi pahala yang lainnya sedikit pun. Suami (mendapatkan pahala) apa yang ia usahakan, sedangkan istri (mendapatkan pahala) apa yang ia sedekahkan.” (Hadis riwayat Tirmidzi)
Apakah kita tidak ngeri melihat berbagai kejadian mubazir yang berulang kali berlangsung di rumah sendiri? Berapa kali kita membuang makanan karena tidak mampu menghabiskannya? Sedangkan masih banyak tetangga, sanak saudara atau kaum muslimin yang kelaparan. Betapa sering kita membuang rezeki, tatkala masih ada saudara kita yang terpaksa menggadaikan keimanannya demi sesuap nasi.
Kita tidak tahu pahala mana yang akan mengantar ke surga, dan bisa jadi seorang suami masuk surga –insyallah- berkat pahala dari amalan sedekah istrinya.
Hadis telah menjelaskan suami mendapatkan pahala, tanpa mengurangi nilai pahala istrinya. Maka suami yang baik adalah yang meneladani Rasulullah, yang mendorong keluarga agar gemar berderma.
Harta suami tidak akan berkurang dengan kegemaran sedekah istrinya. Bahkan Allah akan membuka pintu-pintu rezeki yang lebih luas. Dan suami hendaknya bersyukur memiliki istri gemar sedekah.
Maka istri yang baik adalah yang meneladani Zainab binti Jahsy yang kegemaran bersedekah justru membuka pintu rezeki yang lebih luas. Dia menjadi pengrajin qirbah yang membuat kegemarannya bersedekah tidak terhenti sepeninggal suami. Sedekahnya tidak lagi bergantung hanya dari penghasilan atau harta suami, tetapi menjadi lebih dahsyat dari usahanya sendiri.
Salah satu tugas suami adalah mendidik istrinya. Keberhasilan Nabi Muhammad sebagai pemimpin dunia juga terbukti dalam rumah tangga. Hasil didikan Rasulullah yang amat lembut dan mengena di hati itu tertancap dalam di sanubari istrinya dan tetap menjadi amalan meskipun suami telah tiada.
Betapa bahagianya hati Rasulullah di alam sana menyaksikan istrinya terus menghadirkan pahala bagi suami dari kegemarannya bersedekah. Semoga kebahagiaan itu juga hadir di hati suami-suami yang mendulang banyak keberkahan dari amalan terpuji istrinya. Dan umat Islam ini akan kuat dengan semangat berderma yang mengakar dalam tradisi keluarga.
KOMENTAR ANDA