SAYA berjanji ke kebun durian di Cianjur, Jawa Barat. Kok nyasar ke kebun durian di Trawas, Jawa Timur.
Itu Sabtu siang kemarin. Nyasar yang terlalu jauh.
Sejak ada virus Corona saya memang membatasi diri pergi jauh. Saya menghindari berdesakan di bandara. Saya termasuk orang yang mudah tertular virus --karena tiap hari minum obat untuk menekan imunitas saya.
Padahal, saya sudah berjanji melihat kebun durian seluas 600 hektare di Cianjur itu. Itulah kebun durian yang hancur. Milik PTPN 8. Yang berhasil diselamatkan oleh seorang mantan pengacara.
”Pak Dahlan harus ke sini. Mumpung mulai panen,” ujar I Gusti Ngurah Wisnawa.
Virus Corona membelokkan saya ke Trawas, daerah pegunungan di Mojokerto Selatan.
Di Trawas itu ada teman yang memiliki kebun durian 10 ha. Namanya Tirto Santoso.
Yang membuat saya menyadarkan diri ke kebunnya adalah: ia lagi panen durian jenis Musang King.
Itulah jenis durian termahal. Yang selama ini menjadi unggulan Malaysia. Musang King-lah yang membuat kehebatan durian Thailand klepek-klepek. Musang King-lah yang membuat semua durian seperti bukan durian.
Di Singapura praktis tidak ada yang menjual durian selain Musang King. Yang didatangkan dari Malaysia. Biasanya saya diajak Robert Lai nongkrong di kawasan Whampoa. Di situlah Musang King dijual. Setelah jam 5 sore.
Kalau kangen Musang King, di Jakarta pun ada. Dijual secara online. Saya beberapa kali membeli. Saya lihat merknya: Sindy. Sama dengan nama toko durian di Singapura itu.
Ternyata pedagang durian di Jakarta tadi memang kepanjangan jaringan dari yang di Singapura itu. Bukan langsung dari Malaysia.
Di Jakarta harga satu pack Musang King --isi empat hapat-- Rp 800.000. Satu biji durian Musang King biasanya berisi empat hapat. Berarti harga Rp 800.000 itu sama dengan satu biji durian.
Saya terpaksa meminjam kata ”hapat” dari bahasa Banjar. Saya belum tahu bahasa Indonesia-nya ”hapat” itu apa.
Dan sekarang saya bisa makan Musang King di Trawas --gratis pula. Warna dagingnya sama: kekuningan. Bijinya sama: gepeng tipis sekali. Rasanya sama: tidak bisa menggambarkannya --saking enaknya.
Sebelum memulai saya memberi tahu istri bagaimana cara makannya: setengah disedot pelan-pelan. Kalau bisa sambil memejamkan mata. Agar tidak ingat mertua.
Mirip cara menikmati es krim terlezat dari ujung sendok.
Itulah cara yang benar makan durian Musang King. Setidaknya menurut teman saya Robert Lai itu.
Itu agar makannya pelan-pelan sekali. Sesuai dengan harganya. Tapi belakangan ia baru mengaku: ia tidak boleh makan banyak durian.
Setelah tahu rahasianya itu saya tidak sabar lagi makan Musang King dengan memejamkan mata.
Tapi saya tetap mengajarkannya ke istri dengan tujuan yang sama: agar jangan banyak-banyak makan durian. Cukuplah kalau jatahnya diwakilkan ke suaminya.
Apalagi saat saya di Melaka. Yang harga Musang King-nya hanya separo harga di Singapura. Tanpa memejamkan mata pun tidak ingat mertua.
Juga ketika saya di Kuala Pilah, Negeri Sembilan, Malaysia. Di kampungnya Rosma Mansor itu.
Saya sengaja ke kampung asal Rosma di pedalaman Malaysia itu untuk bertemu teman-teman lama istri mantan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak itu. Yakni ketika saya akan menulis cerita panjang tentang wanita itu tahun lalu.
KOMENTAR ANDA