Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

PADA kenyataannya bukan sanak keluarga, melainkan tetangga adalah yang paling dekat dalam kehidupan kita. Mereka adalah orang-orang yang selalu berada di sekitar kita; siang malam, pagi petang.

Ketika kita mengalami kesulitan, sebelum karib kerabat datang, maka tetangga yang terlebih dahulu mengantarkan ke dokter, meminjamkan barang-barang, mengingatkan berbagai urusan bahkan turun tangan sampai perkara kematian.

Jadi, sebetulnya apa sih yang telah dilakukan oleh para tetangga? Ya, nyaris segalanya, sebelum bala bantuan dari pihak sanak saudara datang. Dan seringkali bantuan ikhlas itu diberikan tanpa dipinta terlebih dahulu.

Demikian banyak kebaikan yang dikucurkan tetangga, tetapi nyaris lepas dari pantauan disebabkan kita yang amat larut dengan godaan duniawi sehingga yang jauh menjadi dekat, sementara yang dekat justru menjadi jauh. Kita menghabiskan waktu berjam-jam demi berdandan, menghabiskan waktu seharian, dan mengeluarkan biaya besar demi silaturahmi kepada sahabat yang jauh tempat tinggalnya, tetapi dengan tetangga kita seperti kehabisan energi.

Cobalah diingat-ingat lagi, apakah di setiap Idul Fitri kita hanyalah bersalaman dengan tetangga di jalanan, sementara orang-orang yang jauh dikunjungi dengan mengorbankan waktu, tenaga dan biaya. 

Jangan sampai kita menjadikan tetangga hanya tempat menumpahkan pahit getir belaka, sementara yang manis-manisnya tak pernah dibagikan. Tanpa disadari, sangat mungkin kita malah sering menyakiti tetangga, sengaja ataupun tidak.

Tatkala kita memasak hidangan enak buat keluarga, persis di sebelah kediaman kita ada tetangga yang tersiksa dengan aroma sedapnya. Mereka menutup mulut anaknya yang merengek meminta hidangan enak itu. Belum lagi polusi suara jeritan tangis anak-anak kita di tengah malam yang membuat anak-anak tetangga juga terjaga. Belum pula dihitung polusi suara dari pertengkaran rumah tangga kita yang ikut meremukkan batin tetangga.

Hidup di era modern, apalagi di perkotaan, telah membuat pola hidup jungkir balik. Seorang tetangga mengaku berangkat kerja sebelum Subuh dan pulang larut malam. Sabtu minggu masih ada berbagai acara kantor, menyediakan waktu buat anak istri saja sudah susah, apalagi buat tetangga. Tidak heran apabila pria sibuk itu bersapaan dengan tetangganya nyaris sekali setahun, alias pas lebaran saja. Itu pun kalau tidak mudik.

Sebetulnya, asalkan ada niat, banyak cara yang dapat dilakukan demi menebar kebaikan terhadap tetangga. Contoh paling sederhana, tatkala Rasulullah meminta istrinya berbagi makanan dengan tetangga, dengan cara memperbanyak kuahnya. Prinsip berbagi itulah yang dapat mengeratkan hati, meski yang dibagi itu sesuatu yang amat sederhana. Pemberian itu dapat menjadi tanda cinta, dan cinta menjadi bahasa yang membuka hati siapa saja.

Apabila tetangga kita lebih dari satu, maka perlu dibuat pertimbangan yang terbaik. Karena akan menjadi perkara yang dilematis tatkala yang akan dibagikan istri hanyalah sesuatu yang sedikit. Para suami sebaiknya tidak menyepelekan ketika istri mengalami dilema macam ini. Lagi pula hal ini bukanlah perkara kecil, buktinya Nabi Muhammad pun turun tangan dalam menyelesaikannya.

Dari Aisyah ra, ia berkata, saya bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya mempunyai dua tetangga. Siapa yang harus saya dahulukan?” Beliau menjawab, “Tetangga yang lebih dekat pintunya.” (Hadis Riwayat Bukhari).

Ketika kita mengantarkan sesuatu, saat membawanya, para tetangga terdekat akan menyaksikan dan boleh jadi muncul harapan mendapatkan jatah yang sama. Dan apabila tetangga terdekat itu terlanjur melihat dan berharap, lalu tidak mendapatkannya, maka akan ada hati yang tersakiti. Mungkin para istri dapat mengakalinya dengan membungkusnya, sehingga wujudnya tidak terlihat. Namun ada yang tidak dapat dibungkus, yaitu aromanya.

Nah, aroma yang enak, sedap, wangi, lezat dan sebagainya itu yang kita tak kuasa meringkusnya dan terlanjur menerobos ke rumah tetangga terdekat. Makanya dengan amat indah Rasulullah menyarankan pada istrinya untuk mengutamakan tetangga terdekat.

Sampai kepada perkara kecil itu pun Rasulullah turun tangan mendidik istrinya, karena urusan dengan tetangga bukanlah perkara yang layak disepelekan. Karena belum tentu niat baik itu selalu menghasilkan sesuatu yang baik pula. Apabila caranya salah, tak akan mengherankan jika ekses-ekses negatif juga muncul.

Dalam menafsirkan surat An-Nisa ayat 36, yang artinya, (Berbuat baiklah kepada) tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, Ahmad Musthafa Al-Maraghi menegaskan tetangga adalah satu macam dari kaum kerabat. Oleh karena itu, hendaknya dua keluarga bertetangga saling tolong menolong, membina kasih sayang, dan kebaikan antar mereka.

Jika suatu keluarga tidak berbuat baik kepada tetangganya, maka bisa dikatakan tidak ada kebaikan yang diberikan keluarga itu kepada seluruh manusia. Islam telah menganjurkan supaya bergaul dengan baik bersama tetangga, meski ia bukan muslim.

Islam mengajarkan konsep berbagi kebaikan terhadap tetangga, jangan hanya menerima apalagi meminta kebaikan dari tetangga, tetapi jadilah pemberi kebaikan. Nilainya bukan ditentukan oleh jumlah atau harganya, melainkan ketulusannya. Percayalah, tidak ada kebaikan yang kecil, karena semuanya bernilai pahala yang akan membahagiakan jiwa.




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur