WABAH virus Corona telah memukul mundur manusia ke rumah masing-masing. Di masa-masa melakukan karantina mandiri itu, tiba-tiba saja suami tersadar dirinya memiliki anak-anak dan istri, kesibukan luar biasa padat selama ini malah membuat dirinya merasa masih bujangan.
Corona telah menyatukan keluarga dalam makna yang sebenarnya, tatap muka yang lebih panjang, interaksi yang lebih intim dan berbagai kebahagiaan yang terus bermekaran.
Dalam beberapa hari segalanya berlangsung amat indah, malah seluruh anggota keluarga bersyukur Corona mendatangkan barakah. Tetapi, namanya manusia, akhirnya dihinggapi virus bosan. Terus-terusan di rumah membuat hidup terasa hambar. Lambat laun muncul pula stres yang memusingkan kepala. Apa jadinya kalau seluruh keluarga dihinggapi stres?
Karena terus-menerus di rumah, berbanding terbalik dari sebelumnya yang banyak di luar, maka berbagai pergesekan bahkan konflik pun bermunculan. Menurut suami, di dunia ini istrinya makhluk yang paling menyedihkan, sering menuntut dan tidak pandai bersyukur. Menurut istri, di dunia ini suaminya makhluk yang paling buruk, sering mengeluh dan tidak menghargai perasaan.
Ya, begitulah jadinya kalau stres telah hinggap, semua yang di depan mata tampak menyebalkan. Meskipun menjalani karantina bersama, tetapi bukan jaminan kita dapat benar-benar saling memahami.
Karantina karena Corona tidaklah lama, karena pasti ada batas akhirnya, yang lebih lama itu 'karantina gara-gara pernikahan'.
Ya, disebabkan pernikahan suami istri terperangkap dalam masa yang amat panjang, bahkan nyaris sepanjang hayat. Bayangkan, betapa besarnya gelombang virus bosan itu menerjang dan betapa beratnya beban stres yang mesti dipikul. Namun kita tidak dapat mengelak, makanya pernikahan yang tidak dilandasi keimanan akan membuat bahtera rumah tangga gampang rapuh. Apabila kita berpegang dengan Tuhan, insyallah rumah tangga akan memeiliki pegangan yang kuat.
Hal yang terpenting dipahami adalah kita menikah dengan manusia, bukan dengan malaikat. Manusia itu punya sifat lupa, bisa khilaf dan berulang kali salah. Kita tidak bisa menuntut kesempurnaan pada diri pasangan, sebagaimana diri kita yang juga sering tersalah. Lagi pula, pernikahan itu sejatinya perjalanan panjang dalam belajar, tepatnya belajar dari berbagai kesalahan yang terus berulang.
Dalam rangka meluruskan kesalahan, kekekeliruan atau kekhilafan yang manusiawi itu, khususnya yang dialami perempuan, maka Nabi Muhammad telah memberikan wasiatnya dalam sebuah hadis:
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Saw. bersabda, “Berikanlah pesan baik kepada kaum wanita, karena seorang wanita itu diciptakan dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Oleh karena itu, jika kamu memaksakan dalam meluruskannya, tulang rusuk itu akan pecah. Dan jika kamu biarkan saja, ia akan terus bengkok. Oleh karena itu, bicaralah dengan baik kepada kamu wanita.” (Hadis Muttafaqun alaih)
Pesannya sungguh indah, bicaralah dengan baik! Sangat sulit diharapkan bicara baik itu akan lahir ketika emosi meledak atau amarah membara. Dari itu, jangan bicara apapun sebelum diri sendiri sudah mampu dikendalikan.
Kata-kata baik, tata cara yang baik, dan tujuan baik akan tercapai jika kondisi kita terlebih dulu baik-baik saja. Uniknya, tak jarang terjadi, justru ketika kondisi emosi kita mereda, yang tadinya terlihat salah malah jadi benar, yang tadinya keliru malah menjadi tepat.
Nah, apabila kondisi emosi sudah di level terbaik, dan terlihat memang ada sesuatu yang perlu diluruskan, maka terlebih dahulu ingatlah pesan Rasulullah tentang tulang yang bengkok. Ini mengandung makna kiasan, tentang seruan kehati-hatian agar tulang itu tidak patah.
Kekeliruan pasangan tidak boleh terus dibiarkan, apalagi kalau yang kekhilafan istri itu menyangkut hal-hal yang prinsip dalam ajaran Islam. Namun, cara-cara kekerasan atau paksaan hanya akan membuat tulang itu patah.
Hadis di atas tidak memerinci sama sekali tata cara meluruskan si tulang bengkok, karena hadis telah memancangkan pondasinya, yakni pesan agar berbicara yang baik. Nah, dalam praktiknya tentulah berbeda-beda, tidak dapat dipukul rata. Sebuah kalimat terasa baik menurut seorang perempuan, belum tentu diterima baik pula oleh perempuan lain.
Setiap orang memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda-beda. Makanya, seorang suami terhadap istrinya atau seorang ayah terhadap putrinya agar terus mempelajari tata cara yang terbaik. Mungkin satu cara baik belum membuahkan hasil maksimal, tetapi janganlah menyerah. Coba lagi cara-cara baik lainnya supaya bertemu yang terbaik.
Bangunlah jembatan hati, selami lubuk terdalam di sanubari pasangan, insyallah akan ditemukan tata cara yang terbaik sebagaimana yang diwasiatkan oleh Rasulullah. Insyallah, yang bengkok dapat diluruskan dan tidak ada yang patah atau pun pecah.
KOMENTAR ANDA