PRESIDEN RI Joko Widodo (Jokowi) baru-baru ini mengumumkan bahwa pemerintah saat ini tengah memesan total 5 juta obat untuk tangani wabah virus corona atau Covid-19 di Indonesia.
Obat yang dipesan tersebut adalah klorokuin sebanyak 3 juta buah dan avigan sebanyak 2 juta buah dan. Kedua obat tersebut dipesan karena merupakan hasil dari riset sejumlah negara dan laboratorium berstandar internasional.
Namun, obat seperti apa sebenarnya klorokuin dan avigan itu, dan seberapa efektifnya bagi kesembuhan pasien Covid-19?
Guru Besar Farmasi Universitas Gajah Mada (UGM) yang juga merupakan Ketua Program Studi Magister Farmasi Klinik, Farmasi UGM, Prof. Dra. apt. Zullies Ikawati, PhD menjelaskan soal kedua obat tersebut dalam tulisannya yang diunggah di situs resmi farmasi UGM, farmasi.ugm.ac.id (Minggu, 22/3).
"Sampai saat ini, belum ada terapi yang pasti dan direkomendasikan untuk Covid-19, karena memang penyakitnya masih baru," tulis Zullies Ikawati.
Karena Covid-19 disebabkan karena infeksi virus, maka terapi kuratif untuk Covid-19 adalah menggunakan anti-virus. Namun demikian, semua anti-virus yang digunakan dalam terapi Covid-19 di hampir semua negara masih berupa trial and error.
Beberapa di antaranya mengacu pada terapi anti-virus yang digunakan pada saat terjadi epidemi SARS dan MERS beberapa tahun yang lalu, misalnya menggunakan lopinavir, ritonavir, ribavirin, oseltamivir dan sebagainya. Obat-obat ini pernah digunakan dan cukup efektif mengatasi SARS dan MERS.
"Demikian pula di Indonesia, belum ada panduan yang pasti di dalam mengatasi Covid-19, dan hanya mengandalkan sediaan yang ada, misalnya oseltamivir yang saat ini banyak digunakan dalam mengatasi Covid-19," tulisnya.
"Dengan telah mulai meredanya wabah Covid-19 di China, maka Indonesia mencoba mengacu pada China mengenai obat-obat yang digunakan, diantaranya adalah klorokuin dan Avigan," tambahnya.
Klorokuin
Klorokuin awalnya adalah obat yang digunakan untuk mengatasi penyakit malaria sebagai anti-plasmodium. Obat ini merupakan obat yang mengandung gugus kuinolin yang bekerja dengan cara menghambat aktivitas enzim heme polymerase yang mengubah heme menjadi hemozoin, akibatnya terjadi akumulasi heme bebas.
Akumulasi heme ini menyebabkan kematian pada parasit plasmodium, yang merupakan penyebab penyakit malaria. Namun dengan makin berkurangnya penyakit malaria dan munculnya resistensi plasmodium terhadap klorokuin, maka klorokuin tidak terlalu banyak lagi digunakan sebagai obat anti-malaria.
Selain sebagai anti-malaria, klorokuin juga banyak digunakan dalam terapi penyakit autoimun, seperti lupus dan rheumatoid artritis.
Di samping itu, klorokuin (dan hidroksiklorokuin) juga ditemukan memiliki efek anti-viral yang kuat terhadap virus SARS-CoV pada sel primata. Efek penghambatan ini teramati ketika sel diperlakukan dengan klorokuin baik sebelum maupun sesudah paparan virus. Hasilnya menunjukkan bahwa klorokuin memiliki efek pencegahan maupun efek terapi.
Bukan hanya itu, selain yang sudah diketahui bahwa klorokuin meningkatkan pH endosomal yang menghambat replikasi virus, obat ini juga nampaknya berinteraksi dengan reseptor angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) selular. Hal ini menyebabkan penghambatan terhadap ikatan virus dengan reseptor, sehingga dapat mencegah infeksi maupun penyebaran virus SARS-CoV pada konsentrasi yang dapat menyebabkan gejala klinis.
Pada pandemik SARS-CoV2 atau Covid-19 di China, klorokuin telah digunakan dengan dosis 500 mg untuk dewasa sebanyak 2 kali sehari dengan lama terapi kurang lebih 10 hari.
Klorokuin (dan hidroksiklorokuin) saat ini juga sedang dicoba di Malaysia dengan dosis yang sama dengan yang digunakan di China.
Avigan (Favipiravir)
Avigan adalah nama paten dari favipiravir, yang juga dikenal sebagai T-705. Ini adalah obat antivirus yang dikembangkan oleh Toyama Chemical (kelompok Fujifilm) Jepang. Obat ini merupakan turunan pyrazinecarboxamide.
Dalam percobaan yang dilakukan pada hewan, favipiravir menunjukkan aktivitas melawan virus influenza, virus West Nile, virus demam kuning, virus penyakit kaki-dan-mulut, serta virus flavivirus, arenavirus, bunyavirus, dan alphavirus lainnya.
Di Jepang, obat ini awalnya dikembangkan sebagai obat flu. Namun kemudian pada Februari 2020, Favipiravir digunakan di China untuk percobaan pengobatan Covid-19 yang muncul.
Kemudian pada 17 Maret 2020, pejabat China menyatakan bahwa obat itu efektif dalam mengobati Covid-19 di Wuhan dan Shenzhen. Dilaporkan bahwa pasien positif Covid-19 yang diberi Avigan di Shenzen menjadi negatif terhadap virus tersebut setelah 4 hari. Sebagai perbandingan, pasien positif Covid-19 yang tidak menggunakan obat tersebut memerlukan waktu 11 hari untuk menjadi negatif virus corona.
Sementara itu, pemeriksaan menggunakan X-ray juga menunjukkan perbaikan paru yang signifikan pada 91 persen pasien yang menggunakan favipiravir, dibandingkan hanya 62 persen pada pasien yang tidak menggunakan obat tersebut.
Dokter di Jepang juga sudah menggunakan obat tersebut untuk Covid-19. Namun demikian, pihak Kementrian Kesehatan Jepang menyatakan bahwa obat tersebut nampaknya kurang efektif untuk mereka yang gejalanya lebih berat. Mereka telah menggunakan obat tersebut pada 70-80 pasien, tetapi nampaknya kurang berefek ketika virus telah bermultiplikasi cukup banyak.
Saat ini Avigan masih menunggu persetujuan dari Pemerintah Jepang untuk resmi menjadi obat Covid-19.
KOMENTAR ANDA