Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

GANJARAN istri yang salihah adalah surga. Rasanya semua perempuan tahu itu. Tapi bagaimana mewujudkan “salihah” di tengah zaman yang makin membuat pusing kepala ini, semakin tidak mudah.

Dengan slogan persamaan (equal right) yang digaungkan ke seluruh dunia, perempuan pun berlomba-lomba menjadi jumawa terutama dalam urusan profesional. Karir gemilang yang ditandai jabatan tinggi dan penghasilan belasan hingga puluhan juta rupiah, kepopuleran, kecantikan yang selalu dipuji, dan barang-barang branded yang selalu menutupi tubuh, kini menjadi sesuatu yang harus dicapai.

Tak heran, tak sedikit perempuan justru merendahkan perempuan lain yang memilih untuk menjadi manajer rumah tangga alias ibu rumah tangga (IRT). IRT justru dicap sebagai ‘perempuan yang numpang hidup sama suami’. Miris. Padahal sudah jelas, tanggung jawab nafkah keluarga terletak di bahu sang imam.

Banyak muslimah yang ikut ‘terkecoh’ oleh kemolekan dunia. Terjun menjadi career woman atau womanpreneur dengan tujuan utama membuktikan diri bahwa ia mampu. Sebuah pembuktian terhadap suami, keluarga, dan orang-orang di sekitarnya. Pembuktian yang bisa berujung pada kesombongan. Merasa jumawa karena berhasil menikmati hidup yang diimpikan banyak perempuan.

Kebutuhan dan keinginan menjadi samar. Pada akhirnya, hal-hal artifisial pun menjadi sama pentingnya dengan kebutuhan primer. Tidak pernah lagi melihat ke bawah. Tidak tahu lagi batas wajar dan berlebihan.

Dampaknya secara psikologis jelas terasa. Perlahan tapi pasti tak lagi samar. Mulai berani mendebat suami, mulai berani menolak suami, mulai berani merendahkan suami. Merasa mampu berdiri di atas kaki sendiri. Tidak perlu menurut apa kata suami. Tidak takut ditinggalkan. Jika perlu, kitalah yang meninggalkan suami. Ada kebanggaan karena itu membuktikan bahwa perempuan bisa lebih hebat dari laki-laki.

Sebelum itu terjadi, kita seharusnya merenungi hadis berikut ini.

“Perempuan mana saja yang meminta talak (cerai) tanpa alasan yang jelas, maka haram baginya mencium bau surga.” (HR Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah)

Perhatikan baik-baik hadis di atas, maka kita akan mendapati betapa kerasnya peringatan Allah ini. Perempuan yang berani meminta cerai kepada suaminya tanpa sebab yang diizinkan dalam syariat Islam bukan hanya tidak bisa masuk ke dalam surga, melainkan tidak diperkenankan mencium bau surga!

Padahal, kenikmatan yang pertama kali dirasakan oleh mereka yang masuk surga adalah mencium bau surga. Menjadi ‘tanda’ bahwa mereka adalah benar orang-orang yang semasa hidup senantiasa berbuat baik.

Untuk apa pembuktian diri hanya untuk dijauhkan Allah dari surga, bahkan tidak bisa mencium baunya?

Pilihlah ahli agama mana saja untuk menceritakan keinginan kita bercerai karena alasan sudah tidak cocok lagi, sudah terlalu banyak perbedaan pendapat, sudah tidak bisa memenuhi nafkah dengan berkecukupan, suami ‘tertinggal’ jauh di belakang kita dari segi pikiran dan finansial, atau sudah tidak memerlukan suami untuk menjalani kehidupan ini karena lebih nikmat sendiri. Pasti tak ada satu ustaz/ ustazah pun yang mengamini niat jelek kita.

Jangan sampai pisau materi mengoyak jalinan suci pernikahan kita. Jangan biarkan kesombongan menggerogoti ketaatan kita sebagai istri terhadap suami.

Menjadi perempuan berdaya tetap bisa dilakukan dalam koridor yang diizinkan syariat. Menjadi perempuan yang bermanfaat bagi sesama tentu akan menjadi lebih bermakna manakala kita menjadi maslahat bagi suami tercinta. Memiliki karir atau usaha haruslah diniatkan untuk kebaikan, menggenapkan ikhtiar suami untuk mencapai sakinah mawaddah warahmah. Bukan untuk meruntuhkan mahligai rumah tangga.

 

 

 

 

 

 




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur