KEHILANGAN ayah, terutama bagi seorang anak perempuan, adalah sebuah lara teramat dalam. Tak terkecuali bagi saya.
Tak pernah didera sakit parah sepanjang hidupnya, ayah saya justru meninggal dunia setelah divonis dokter menderita leukimia akut. Tubuhnya memang makin kurus hampir dua bulan belakangan. Saat ditanya, ayah hanya bilang kehilangan nafsu makan. Sepuluh hari dirawat di RS, ayah sempat pulang. Mulai segar. Kembali bercanda dengan cucu-cucunya.
Namun setelah itu, kondisinya terus menurun. Sempat dilarikan ke RS, namun Allah memanggilnya sebelum ia masuk ruang ICU.
Tak perlulah menceritakan betapa terpukulnya hati ibu saya kehilangan kekasih yang menemaninya selama 42 tahun. Pun saya dan ketiga adik saya. Juga kakak dan adiknya, juga para sahabatnya. Ayah meninggalkan kami tiga bulan sebelum ulang tahunnya ke-70.
Teringat kembali kerja keras yang ia jalani semasa hidupnya. Ia tak pernah diwisuda menjadi sarjana. Tapi tekadnya kuat menjadikan keempat anaknya lulus kuliah. Tak pernah banyak berkata-kata. Sabar dan tekun. Ayah menjadi contoh dengan segala perbuatannya.
Yang terjadi dengan saya kini persis seperti apa yang pernah saya tonton dalam film. Seorang anak menyesal setengah mati, merasa belum bisa memberikan bakti terbaiknya kepada ayah. Masih saja menyusahkan hingga usia senja ayah. Masih belum bisa membanggakannya. Masih belum cukup membahagiakannya.
Bibir ini pun latah mempertanyakan mengapa begitu cepat Allah memanggil ayah. Padahal sudah lebih dari tiga dasawarsa saya menjalani hidup sebagai manusia dewasa. Artinya, seharusnya, saya sudah punya lebih dari tiga dasawarsa untuk berbakti. Namun sebaliknya, saya merasa ayah “tak pernah menua” hingga selalu saja saya meminta pertolongan padanya. Dia menjadi pelindung saya, sekalipun saya sudah menikah.
Saya teringat sebuah kisah. Ketika manusia masuk ke liang kubur, manusia tak membawa satu helai rambut pun bersamanya. Tak satu rupiah pun bisa ia genggam. Tak satu anak pun ikut menemaninya. Jelaslah bahwa ia tak bisa memiliki apa pun di dunia.
Ketika manusia bertanya, apakah yang menjadi miliknya di dunia? Ternyata jawabannya adalah waktu.
Ya, manusia hanya memiliki waktu dalam hidupnya. Akankah menjadi manfaat, atau menjadi mudarat, tergantung dia yang menggunakannya. Akankah menjadi penerang dalam kuburnya, atau malah menghimpitnya dalam gulita, tergantung dia yang menggunakannya semasa hidup di dunia. Akankah terasa cepat atau lambat, tergantung bagaimana manusia memanfaatkannya.
Umur manusia, tak pernah ada yang tahu batasnya. Jika seseorang terbiasa mengatakan “nanti saja...”, bisa jadi dia akan terkesiap melihat usianya tidak berbanding lurus dengan kemantapan mental dan karakter yang seharusnya dimiliki orang seumurnya. Manusia harus bisa menghalau rasa malas, rasa enggan, juga rasa sombong jika dia memahami betul hakikat waktu baginya.
Ah, persoalan waktu ini membuat saya ingin kembali memutar waktu. Sebuah hal yang tidak mungkin terjadi. Mungkin saya mulai frustasi karena dilanda ketakutan, menyadari bahwa saya belum bisa menjelma menjadi a better me dari puluhan tahun lalu ketika saya masih remaja. Lalu saya pun sibuk membanding-bandingkan. Mencari tahu. Sikap baik dan kebiasaan baik apa yang saya miliki sekarang ini yang dulu saya belum jalankan?
Bagaimana dengan kematangan berpikir dan tindak-tanduk saya sebagai seorang Muslimah, istri, juga ibu? Apakah saya sudah bisa menjadi uswah hasanah bagi buah hati saya? Apakah saya sudah berusaha mendatangi surga dari pintu istri salihah? Seperti apa hablumminallah dan hablumminannas saya?
Karena manusia hanya punya waktu, maka kita harus menghargai dan menjalani setiap detiknya dengan taburan kebaikan. Jangan pernah bosan memotivasi diri untuk selalu mengisi hari dengan kebajikan. Ketika kita merasa lelah, carilah bahu untuk bersandar, tengadahkan tangan memohon padaNya untuk diberi kekuatan. Begitu terus. Agar siklus kehidupan kita jauh dari maksiat dan keburukan. Hingga nanti kita tiba di ujung waktu dengan husnul khatimah, insya Allah.
KOMENTAR ANDA