MANUSIA tidak pernah luput dari kesalahan. Namun ada yang bisa belajar dari kesalahannya, ada yang tidak. Ada yang berulang kali harus jatuh ke lubang yang sama, berkali-kali tertatih, baru menyadari kekeliruannya.
Ada pula yang sadar bahwa ia salah, tapi tidak bisa mencari solusi untuk bisa keluar dari kesalahannya, lalu terjebak.
Kebohongan adalah salah satu kesalahan yang sulit dihindari. Ada yang berbohong dengan dalih ‘demi kebaikan’. Ada yang berbohong untuk menghindar. Ada yang berbohong untuk menunda waktu. Apa pun alasannya, semua memiliki kesamaan: tidak jujur.
Saat kita berbohong, kita tidak tahu bagaimana perasaan hati orang yang kita bohongi. Seperih apa rasa sakitnya. Sebesar apa kebenciannya terhadap kita dan ketidakpercayaannya pada kita saat dia tahu kebenarannya.
Demikian juga jika kita berbohong. Nurani ini akan terasa sakit. Bagi orang beriman, tentulah ia menjadi tidak tenang. Bak menyimpan bara api di dalam dada. Ditahannya, meski terasa pedih. Namun berat sekali untuk mengakui kebohongan kita karena kita tahu risiko besar yang menanti. No one will trust us.
Benarkah white lie diperbolehkan? Nurani kitalah yang menentukan. Karena sebaiknya memang tidak perlu berbohong. Pasti ada cara untuk menjelaskan maksud kita tanpa menyakiti atau tanpa membuat waswas orang yang kita beri tahu. Karena tetap saja, dibohongi menjadi sesuatu yang menyakitkan. Terlebih bila dilakukan oleh orang terdekat.
Jika berbohong, mengakulah. Itu akan lebih baik daripada orang yang kita bohongi mengetahui kebenarannya dari orang lain. Bisa jadi banyak ‘bumbu’ yang menyebabkan permasalahan sesungguhnya menjadi bias. Kita pun terlihat lebih buruk.
Tapi ketika kita dibohongi dan merasa sakit hati karena itu, kita harus tetap objektif melihat alasan mengapa orang berbohong pada kita. Biasanya ada alasan yang menyebabkan seseorang berani mengambil keputusan untuk berbohong. Salah satu alasan adalah takut mengakui kesalahan yang dia lakukan.
Lidahnya kelu dan hatinya mengeras. Hingga berbohong dirasanya menjadi jalan yang aman. Saat itu menurutnya, tak akan ada yang terluka.
Saat itulah kita harus menjelaskan bahwa kesalahan yang ia lakukan itu sejatinya bisa diselesaikan tanpa berbohong. Dengan begitu, mudah-mudahan dia bisa belajar bahwa menikmati pahitnya kejujuran jauh lebih mulia dan lebih baik dari terjebak pada lingkaran kebohongan.
KOMENTAR ANDA