KITA sudah punya model isolasi yang berhasil: Pulau Natuna & Pulau Sebaru. Tiru itu saja di tiap kota dan daerah di Tanah Air. Pikiran itu melintas di dalam benak Kamis (26/3) saat saya jogging pagi di komplek perumahan kami.
Yang saya maksud isolasi adalah adalah kiat memotong mata rantai penyebaran virus corona (Covid-19). Langkah itu baru dibuat bulan lalu.
Ratusan WN kita dievakuasi dari Wuhan, pusat penyebaran virus corona di Tiongkok. Para warga itu kemudian dibawa ke Pulau Natuna, Kepulauan Riau. Diisolasi total selama dua minggu. Begitu juga dengan puluhan ABK kapal pesiar “Diamond”. Dijemput dari kapal itu mereka dibawa ke Pulau Sebaru, gugusan Pulau Seribu. Dua minggu total mereka di sana. Berhasil.
Semuanya sehat. Malah Pemerintah memberi mereka gelar terhormat: “duta imunitas” buat alumni Natuna dan Sebaru. Dikasih sertifikat segala.
Bukan Lockdown
Usulan “model isolasi” itu saya posting di akun saya di FB dan Istagram. Tapi cepat saya sadar. Saya tambahkan segera keterangan susulan.
Isinya: “Ini hanya usulan untuk dipertimbangkan oleh warga di komplek- komplek perumahan masing- masing”. Mencoba menafsirkan perintah UU Karantina (tidak ada istilah lockdown dalam UU ini).
Misalnya, satu kawasan pemukiman mengisolasi kompleknya. Orang luar dilarang masuk. Warganya sendiri pun tidak boleh seenaknya keluar masuk komplek. Tentu disertai pengecualian bagi warga yang punya keperluan ke dokter atau ke rumah sakit.
Belanja ke pasar atau supermarket, juga boleh. Untuk keperluan itu pun warga tetap harus disemprot disinfektan saat keluar maupun saat masuk komplek kembali. Termasuk kantong belanjaannya. Di kota-kota dunia yang pemerintahnya melockdown negaranya juga memberlakukan itu.
Secara lisan gagasan itu saya sampaikan juga kepada RW dan RT di komplek kami ketika ketemu saat jogging. Di beberapa daerah di Indonesia pun sudah dipraktekkan langkah mengisolasi wilayahnya. Itu murni inisiatif kepala daerah untuk melindungi jiwa warganya.
Keterangan tambahan itu perlu. Saya khawatir dianggap makar. Dianggap melawan pemerintah. Presiden sudah berulangkali menegaskan sikapnya tidak akan melakukan lockdown. Tidak akan meniru Wuhan dan banyak negara lainnya yang memberlakukan lockdown.
Terakhir penolakan Presiden Jokowi disampaikan oleh Ketua BNPB selaku Ketua Gugus Tugas, Letjen Doni Monardo.
Maka itu saya pun tahu diri tidak pernah mengusulkan lockdown dalam berbagai tulisan saya sebelumnya. Saran saya ke pemerintah menaikkan derajat imbauan kepada warga agar berdiam di rumah menjadi larangan yang secara hukum memiliki alasan pemaksa.
Ini yang belum ada. Polri cukup pro aktif mengeluarkan Maklumat Kapolri 19 Maret. Tapi ini tidak boleh dibiarkan tanpa payung hukum dari pemerintah pusat.
Sebelumnya, presiden sebenarnya sudah membolehkan tiap kepala daerah memutuskan kebijakan berdasarkan kebutuhan warganya masing-masing (Senin, 16/3).
Gubernur DKI Anies Baswedan cepat merespons. Tapi cepat pula diralat oleh Presiden. Entah apa sebabnya. Yang pasti, itu terjadi sehari setelah Gubernur DKI Anies Baswedan menetapkan menutup sekolah dua minggu. Dan dalam kurun itu juga Gubernur DKI mulai membatasi jumlah dan jam operasional transportasi publik (MRT, LRT dan Trans Jakarta) seraya meminta karyawan bekerja dari rumah. Ibadah juga diminta di rumah.
Pas hari penetapan itu berlaku, ledakan penumpang angkutan umum memang terjadi di seluruh wilayah Jakarta. Penumpang kereta dan Trans Jakarta terlantar. Itu salah satu dampaknya. Komunitas pers ramai memberitakan kejadian tersebut. Warga net alias netizen lebih -lebih lagi. Ada yang tega menyudutkan dan memaki- maki Gubernur Anies.
Masyarakat Jakarta, khususnya pengguna angkutan umum seperti belum menyadari bahaya wabah pandemi corona. Presiden Jokowi lalu meminta angkutan dinormalkan.
Namun, Presiden tidak lupa mengingatkan agar masyarakat bekerja dari rumah saja, belajar, dan beribadah juga. Beliau sendiri mencontohkan, beberapa hari mengisolasi diri di istana. Rapat kabinet digelar via teleconference. Padahal, Jokowi sudah memeriksakan diri dan dinyatakan negatif corona.
Presiden baru tampak beredar kembali di dalam kerumunan saat melayat ibunda tercinta yang wafat di Solo.
Presiden memang pemegang kekuasaan tertinggi di negara kita. Presiden Jokowi tentu sudah mempertimbangkan banyak hal. Seperti yang sudah berulang kali dikemukakannya. Memang betul, cara penanganan melawan corona setiap negara tidak selalu sama. Korea Selatan memilih cara berbeda dengan Wuhan.
Lockdown memikul konsekwensi besar. Hitungan finansial saja belum selesai dikalkulasi. Tidak cuma biaya besar. Kalau soal biaya mungkin mudah. Pemerintah punya pengalaman bailout BLBI, dan sekarang rencana bailout Juwasraya, Asabri, dan sebagainya.
Bahkan membangun infrastruktur yang di antaranya. Belum dibutuhkan saja pun pemerintah mau ambil risiko finalnsial. Begitu pun dengan pindah Ibu Kota. Mungkin ada hal lain yang belum kita tahu.
Jakarta Episentrum Wabah
Terus terang, saat ini keadaan Jakarta amat meresahkan kita. Menjadi epicentrum wabah corona di Tanah Air. Sampai Sabtu (28/3) jumlah warganya yang terpapar Covid-19 sebanyak 598 orang. Yang meninggal dunia: 51 orang. Rasio kematian atau rate of death: 8,52 persen.
Angka terpapar Covid-19 dan rasio kematian itu adalah yang tertinggi secara nasional. Jumlah pasien positif Covid-19 secara nasional berjumlah 1.046 orang dan yang meninggal dunia 87 orang. Rasio kematian: 8,31 persen.
Masih segar dalam ingatan dua pekan silam ketika Gubernur DKI mengumumkan gerakan pembatasan sosial (social distancing) di Jakarta. Adakah keadaannya lebih baik atau malah sebaliknya, seandainya sejak awal ajakan tesebut dipatuhi warga? Wallahu a'lam. Namun, belajar dari karakter wabah Covid-19, dan pengalaman Natuna serta Sebaru, mungkin korban tidak separah sekarang.
Kita memang masih punya harapan dengan inisiatif murni dari warga Jakarta mengisolasi pemukimannya. Seperti yang terlihat di beberapa pemukiman beberapa hari terakhir ini, yang memilih cara “lockdown” sendiri di wilayah-wilayah RT/RW masing-masing. Saya mengira ini sudah sama dengan Natuna dan Sebaru. Terus terang, saat menulis pandangan ini saya juga masih merasa cemas.
Belum pernah saya mengalami kecemasan seperti ini. Semenjak Menkes, Menkumham, dan banyak lagi pejabat, bicara di televisi, saya sudah agak kacau.
Para pejabat itu terkesan meremehkan wabah corona ini. Presiden pun, seperti dikutip banyak media, sempat memuji pandangan Menkes Terawan. Mula-mula, kata Menkes, wabah corona tidak akan masuk Indonesia. Itulah yang dipuji presiden. Lalu, Mantas Kepala RSPAD Gatot Subroto itu bilang lagi, tidak diobatin pun orang yang terjangkit akan sembuh sendiri.
Tapi, fakta di lapangan ternyata tidak berbanding lurus dengan pernyataan Menkes. Malah banyak dokter kita yang meninggal dunia beberapa saat setelah mengobati pasien. Pasien yang tidak terselamatkan jiwa mereka jumlahnya meningkat tajam. Mengembuskan nafas di RS. Di tempat isolasi. Di rumah maupun dalam perjalanan ke RS.
Coba juga ikuti pernyataan dan cara juru bicara Kemenkes, Ahmad Yurianto. Saya pikir, cuma saya yang terganggu. Rupanya banyak pihak. Di tayangan ILC TVOne dipandu Karni, beberapa dokter minta jubir itu diganti.
Ikuti juga keterangannya kemarin yang sekarang viral. Dia minta supaya masyarakat saling bahu membahu. “Yang kaya bantu orang miskin. Yang miskin bantu supaya jangan menyebarkan virus kepada orang kaya,” katanya.
Omong apa ini? Belum ada penelitian korban virus ini didominasi orang tak mampu. Yang banyak diberitakan bukannya sejumlah pejabat, tingkat pusat maupun daerah. Juga kalangan eksekutif?
Saya sendiri, memutuskan berdiam di rumah sejak diimbau Gubernur dan Presiden pertengahan Maret itu. Kami bertetangga dengan anak- anak dan cucu.
Tetapi praktis sejak itu kami mengurung diri di dalam rumah masing-masing. Berkomunikasi via WA atau Video call WA. Saya diam saja seolah tak mendengar jika ada cucu bertanya heran, kenapa tidak boleh ketemu Opa, Oma?
Putera saya dan isterinya kebetulan dokter. Merekalah yang menyusun protokol isolasi keluarga. Mereka tidak habis-habis mengingatkan kami yang sudah tergolong lansia. Lebih rentan. Protokolnya ketat. Seperti aturan WHO.
Masa inkubasi virus dua minggu. Itu sebabnya selama sebulan ini selain tetap menulis artikel, juga menghitung hari. Menghitung mundur hari- hari saya kontak dengan siapa saja.
Rocky Gerung pernah ke kantor dalam sebulan itu. Pengamat politik itu baru pulang dua hari dari New York, AS, ketika datang ke kantor. Masuk ruang kerja saya. Saya bukan hanya bersalaman, tapi mengadu dahi pula. Ada juga Hendri Satrio dari Kedai Kopi, Marah Sakti Siregar dan Rahma Sarita.
Rahma ini masih sibuk mewancarai Rocky dan Satrio untuk channel youtube Realita TV. Padahal, urusan wabah corona sudah geger.
Hari-hari mundur pun saya hitung. Setelah lewat 14 hari saya baru lega. Tidak ada apa-apa. Ada lagi. Pada tanggal 7 Maret mantan Dubes RI di Polandia, Hazairin Pohan (Haz Pohan) datang ke kantor.
Saya dan Marah Sakti, dan Rahma, menerima beliau. Sudah berkali-kali kirim pesan minta ketemu. Saya tak enak. Akhirnya menyilahkan beliau datang. Kami pun bercipika-cipiki pula. Sempat juga shalat Jumat bersama. Satu shaf. Bersebelahan.
Setelah pulang, saya baru sadar. Haz Pohan baru pulang dari Seoul, Korsel. Di situ corona juga sedang geger. Nah! Saya undang pula dia jadi tamu untuk acara chanel youtube Realita TV yang dipandu Rahma Sarita. Topiknya: penanganan corona di Indonesia. Selain dia, juga Prof Tjipta Lesmana dan saya yang dipasang jadi pembicara.
Rahma minta batalkan tapi saya tak enak. Bukan karena alasan baru pulang dari Korsel itu. Rahma punya alasan lain. Saya tetap pada pendirian: sudah janji. Pengin juga dengar ceritanya tentang corona di Korsel.
Pas hari taping, Senin, 9 Maret. Kami duduk mengobrol dengan Rahma dan Prof Tjipta. Taping belum dimulai, menunggu Haz Pohan.
Saya kelepasan cerita Haz Pohan baru pulang dari Korsel. Prof Tjipta langsung loncat dari duduknya. Waduh. Nyaris aja Sang Profesor mengundurkan diri.
Jalan tengahnya, saya mengatur posisi duduk. Prof Tjipta duduk berjarak satu meter dengan Haz Pohan. Di tengah wawancara, saya sempat usut Pohan. Tanya apakah ada gangguan kesehatan setelah tiba di Indonesia. Aman, kata dia. Demam? Batuk? Tidak ada sahutnya, lagi.
Saya lirik Prof Tjipta, dia tampak agak lega. Kami makan siang bersama setelah taping. Tapi itu baru hari kesembilan dari Korea.
Hari kesebelas, saya kembali telpon Has Pohan. Basa- basi tanya urusan investasi swasta Korsel di Sumatera Utara. Urusan itu yang membuatnya sering ke Korsel. Baru kemudian tanya kesehatannya.
"Aman, Bang. Saya tahu arah pertanyaan Abang. Saya pun sejak taping, mengurung diri di rumah,” kata dia. Empat belas hari setelah kontak dengan Pohan pun lewat.
Saya terakhir masuk studio C&R, Selasa, 17 Maret. Hari itu kami mengundang Ustaz DR Das’ad Latif dari Makassar. Ustaz kondang itu diwawawancara oleh Rahma Sarita untuk chanel youtube Realita. Topiknya: Wabah Corona dari Perspektif Agama.
Tamu lainnya artis Camelia Malik. Hadir juga hari itu wartawan senior Marah Sakti Siregar. Kawan jogging setiap pagi.
Singkat cerita. Lima hari setelah taping itu, saya melihat di youtube Ustaz mewancarai Prof DR dr Andi Idrus Paturusi. Mantan rektor Unhas. Beliau dokter bedah tulang. Selalu aktif dalam penanganan bencana. Uraiannya menarik. Prof Idrus menceritakan siklus wabah setiap satu abad.
Dia mencatat empat kejadian: 1720,1820,1929, dan 2020. Tapi bukan itu yang mau saya ceritakan.
Tiga hari setelah rekaman wawancarai Ustaz dan Prof Idrus beredar, tidak sengaja saya membaca berita di WAG Warga Sulsel. Prof Idrus diisolasi karena diduga terjangkit corona.
Di WAG warga Sulsel yang mukim di Perth, Australia Barat, ada juga berita itu. Waduh!
Segera saya mengontak Ustaz Das'ad, tapi tidak menyahut. Saya hubungi via WA tidak dibalas. Saya kontak sahabat saya Husein Abdullah, mantan Juru Bicara Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Uceng, begitu panggilan akrabnya, berjanji akan cari info di jaringannya di Makassar. Uceng meredakan kecemasan saya dengan metode “menghitung hari”. Dia meyakinkan rekaman Ustaz dengan Prof Idrus dilakukan setelah Ustaz dari Jakarta.
Klop dengan hitungan Uceng dengan masa inkubasi virus. Tapi saya tetap penasaran kalau keterangan tidak langsung dari Ustaz. Jumat (27/3) pagi ada miscall dari Ustaz di ponsel saya.
Alhamdulillah, Ustaz merespons. Saya telpon balik.
“Tenang, Daeng. Saya baik-baik saja. Saya sekarang mengisolasi diri sendiri di rumah,” tukasnya. Sebenarnya, bukan informasi itu saya tunggu. Ustaz tidak singgung, maka saya tanya.
“ Aman, Ji. Aman Daeng. Saya tidak pernah ke Jakarta lagi setelah wawancara Prof Idrus,” ungkapnya. Alhamdulillah.
Saya tidak tahu apakah keadaan saya ini sudah masuk keadaan pasien psikomatik. Saat satu kecemasan hilang, pada saat bersamasn datang lagi kecemasan yang lain.
Saya memuji kesadaran beberapa kepala daerah. Mereka berinisiatif menutup wilayah teritorialnya. Seperti Papua, Tegal, dan beberapa lagi.
Rasa solidaritas sebagian RT dan RW komplek pemukiman di Jakarta juga mulai bangkit. Mereka bergotong royong mengumpulkan dana untuk melakukan seluruh langkah perlindungan jiwa sesama. Mengurus makanan untuk warga yang mengisolasi diri secara mandiri karena terpapar virus. Penyuluhan juga dilakukan untuk mengedukasi masyarakat.
Mengingatkan virus corona bukan penyakit kotor, seperti HIV/ AIDS. Tidak perlu takut dan malu untuk menginformasikan keadaannya karena itu bukan aib. Justru menjadi kewajiban warga itu sendiri untuk memberi data - data kemana saja dan berkontak dengan siapa kurun dua minggu sebelum menjalani isolasi. Ini memberi harapan besar untuk memotong mata rantai penularan wabah yang amat berbahaya itu.
Dua minggu lalu saya pun pernah menulis tentang kewajiban sama untuk wartawan mengumumkan nama pasien yang terpapar. Tujuannya supaya mudah bagi warga lain menghindari ketertularan.
Bagi warga yang merasa pernah berhubungan dalam kurun dua minggu dengan teman atau keluarga yang terpapar, segera mengurus dirinya juga.
Saya merasa semua warga yang bernisiasi seperti itu tahu berwarganegara. Tahu amanah konstitusi, tidak hanya kepala daerah wajib melindungi segenap jiwa raga warganya. Warga sendiri pun harus berbuat. Hemat saya
apabila pemegang kekuasaan tertinggi belum mengambil keputusan, tidak ada salahnya sebagian kepala daerah dan wargan mengambil inisiatif menutup wilayahnya masing-masing.
Apalagi diselenggarakan dengan swadaya masyarakat. Anggap saja itu latihan atau simulasi mendahului keputusan pemerintah nantinya. Konstitusi posisinya di atas Presiden.
Agama mengamanatkan hal sama dengan konstitusi itu: keselamatan jiwa hal utama. Itulah yang menjelaskan mengapa pemuka agama membolehkan menunda salat Jumat serta menunaikan ibadah di rumah saja.
Ayolah mulai isolasi kota Jakarta, Bapak Presiden. Bikinlah perintah. Ini Ibu Kota RI. Etalase bangsa dan negara kita.
KOMENTAR ANDA