DI penghujung Maret 2020, jumlah orang terinfeksi Covid-19 di Tanah Air tercatat lebih dari 1000 orang. Seperti yang sudah diprediksi, ketika tes corona sudah bisa dilaksanakan secara massal dan cepat, maka dengan segera pula kita akan melihat lonjakan angka yang signifikan.
Menakutkan? Tentu saja. Tapi takut adalah sebuah fenomena yang wajar.
Sudah bisa ditebak, ‘teror’ corona terasa kian mencekam. Skenario lockdown lokal mulai dijalankan para pemerintah daerah dengan menutup akses masuk. Ndilalah, ribuan orang penghuni Jakarta malah memilih mudik ke kampung halaman mereka ketika ‘liburan’ diperpanjang hingga pertengahan April. Sudah dekat Ramadan.
Sebagai warga negara yang taat menjalankan #dirumahaja, kita pastilah mengelus dada. Kita menyayangkan tindakan para pemudik yang memungkinkan penularan virus corona meluas ke berbagai pelosok nusantara.
Namun jika diperhatikan lagi, pemerintah memang belum membakukan total lockdown. Landasan pelaksanaan social distancing pun baru sebatas kesadaran. Padahal, semesta pun mafhum bahwa tingkat kesadaran sebagian rakyat negeri ini terbilang rendah.
Karena itulah, kita juga harus bisa memahami apa yang ada di benak pemudik: Kalau memaksa tinggal di Ibu Kota, dari mana dapat uang untuk bertahan hidup di masa corona ini?
Contohnya, para pedagang yang berjualan setiap malam di sepanjang Kanal Banjir Timur, Jakarta Timur. Dari daerah Duren Sawit hingga Cipinang yang jaraknya terbentang sekitar hampir 4 km, ratusan pedagang kehilangan mata pencaharian. Maka mudik pun menjadi solusi terbaik versi mereka.
Jika kita melirik ke luar negeri, India dan Italia yang tegas memberlakukan lockdown kini dihadang chaos. Di India, kerusuhan terjadi antarpemudik yang berebutan naik bus menuju kampong halaman mereka. Sedangkan Italia, yang selama ini mengesankan masyarakatnya menjalankan #stayathome dengan tertib, mulai terganggu penjarahan toko serba ada.
Wajar saja jika pemerintah (baca: Presiden Jokowi) masih menimbang opsi lockdown. Karena jika total lockdown benar diwajibkan, kesejahteraan rakyat harus menjadi tanggungan negara.
Apa iya negara sanggup?
Walhasil, para pemimpin daerah yang tak ingin daerah mereka diserbu pasien corona, diam-diam mulai memberlakukan lockdown lokal: membubarkan kerumunan, menangkap penggelar pesta, melarang warga bepergian, hingga menutup jalur tol akses antardaerah.
Lockdown yang dinilai tidak berdasar pemberlakuan resmi situasi darurat ini menurut Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) adalah perbuatan menghindari kewajiban (curang) sekaligus membahayakan rakyat, terutama dalam urusan memenuhi hak hidup mereka yang miskin dan rentan.
Melihat berbagai hal tadi, jelaslah bahwa yang kita hadapi kini bukan hanya wabahnya, melainkan juga dampaknya yang multidimensi. Dampak corona lebih real dirasakan banyak orang. Tanpa perlu terinfeksi, dampak psikologis, psikosomatis, juga sosial ekonomi akibat pandemi ini sudah mengguncang hampir seluruh rakyat Indonesia.
Betapa banyak orang dilanda ketakutan dan stres karena setiap hari terpapar informasi seputar corona. Meskipun sudah bolak-balik cuci tangan dengan sabun antibakteri, menyemprot hand sanitizer hingga disinfektan, mengenakan masker dan sarung tangan, ganti baju dan mandi setelah keluar rumah, minum jamu pagi dan sore, mengonsumsi 1000 mg vitamin C, juga berjemur pukul 10 atau 11 pagi, tetap saja merasa tak enak badan dan sontak meraih termometer setelah bersin atau batuk.
Sungguh dahsyat dampak virus corona. Membuat kita merasa air mata tak bisa lagi mengalir, kaki tak sanggup lagi berjalan, dan otak tak mampu lagi berpikir jernih.
Jika sudah demikian, masih mampukah kita memilih waspada dibandingkan takut?
Sesungguhnya, kita masih bisa waspada, siaga, dan bersiap menghadapi corona jika kita selalu berpegang pada penggalan ayat ke-40 surah At-Taubah ini.
“...Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita”.
Jika dibaca keseluruhan, ayat tersebut membicarakan pertolongan Allah kepada Nabi Muhammad saat beliau bersembunyi dari kejaran orang-orang Quraisy di gua Tsur bersama Abu Bakar. Ayat tersebut Nabi bacakan untuk menguatkan hati sahabatnya itu. Nabi yakin bala bantuan dari Allah pasti datang.
Bukankah kalimat tersebut menjadi jaminan bahwa kita tak selayaknya diliputi lara dan ketakutan karena Allah Swt. ‘menemani’ kita meniti langkah satu demi satu? Bukankah tak ada teman yang lebih baik dari-Nya? Mengapa kita mesti memaksakan hati dan pikiran kita dipenuhi prasangka buruk terhadap rahmat-Nya?
Corona bukan akhir dunia jika kita mau memelihara keyakinan. Karena keyakinan akan membuat kita lebih kuat. Keyakinan dapat menyempurnakan antibodi alami tubuh kita. Ini rumus psikosomatis yang sudah terbukti ampuh, serupa sugesti.
Tambahkan ritual ini bersama keluarga setiap pagi dan malam: mengucap dengan lantang “Kita kuat. Kita bisa melawan corona.”
Selama hati dan pikiran tetap yakin pada pertolongan Allah, mungkin jika pun harus terinfeksi, ‘perjalanan’ Covid-19 di tubuh kita tak akan lama dan tak melahirkan bahaya lebih besar.
Dan karena kita memang tak pernah tahu takdir kita esok hari, yang kita bisa lakukan adalah menjaga diri lahir dan batin. Beristighfar tanpa henti, meyakini bahwa Allah selalu mendengar doa kita.
La tahzan, innallaaha ma’ana. Semoga ayat itu membuat kita selalu waspada, bukan takut.
KOMENTAR ANDA