SYAHDAN, seorang suami berkeliling cukup jauh untuk membeli sesuatu. Setelah bersusah payah, dia berhasil menemukan buah nangka matang, yang di daerahnya memang amat langka. Tatkala menyerahkan pada istrinya, pria itu memasang senyum lebar dan berkata, “Kejutan!” Ternyata bibir istrinya kecut, kemudian meledak amarahnya, “Itu kamu yang suka, 13 tahun menikah kamu masih tidak tahu saya alergi makan nangka!”
Niat hati hendak menjadi suami yang baik berakhir menyedihkan, malahan perang suami istri yang meletus, bahkan para tetangga pada berdatangan melerai. Dramatis!
Menjadi suami yang sempurna itu mustahil, tetapi menjadi suami yang baik dapat diusahakan. Toh, kita memiliki Islam, agama yang ajarannya berlimpah pedoman kebaikan. Amalan-amalan yang dianjurkan Islam juga baik semua dan diganjar pahala pula.
Allah dalam Al-Qur’an berkali-kali memberikan petunjuk cara menjadi suami yang baik. Rasulullah dalam hadis-hadis yang tak terhitung jumlahnya banyak sekali memberi tuntunan bagaimana menjadi seorang suami yang baik.
Abu Kuraib menceritakan kepadaku, Abdah bin Sulaiman memberitahukan kepadaku, dari Muhammad bin Amr, Abu Salamah memberitahukan kepadaku, dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah bersabda, “Seorang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik budi pekertinya, dan sebaik-baiknya kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.” (HR. Tirmidzi)
Ucapan Rasulullah itu terdengar kurang greget bagi kita yang hidup di zaman modern, dimana perempuan merajalela di berbagai bidang bergengsi, dan emansipasi terus dikumandangkan dengan lantang. Sedangkan Nabi Muhammad berbicara demikian ketika unta lebih berharga daripada wanita. Hebatkan sang Nabi!? Dan ketika bicara macam begini, para suami protes dan mengeluh silih berganti, lagi-lagi Rasulullah terus menyerukan agar bersabar. Kalau sudah begini, kurang apa pengorbanan Nabi Muhammad dalam memuliakan perempuan?
Bukan hanya bicara saja. Rasulullah juga memberikan teladan dalam kehidupan sehari-harinya. Ketika Aisyah memukul nampan yang dibawa istri Rasulullah yang lain, Nabi Muhammad memunguti makanan yang berserakan itu.
Bibir mulia Rasulullah menenangkan orang-orang yang terkesima memandang kejadian ajaib itu, “Tenang, ibu kalian lagi cemburu.” Karena Nabi Muhammad santai saja, maka orang-orang lain yang menonton tidak histeris. Buat apa pula mereka heboh, toh Rasulullah santai saja. Kemudian Aisyah menyadari kesalahannya dan meminta maaf lalu mengganti semua kerugian. Bahkan dalam kesalahan istri pun, Nabi Muhammad masih memuliakan wanita, dan tidak mempermalukannya.
Bahkan pada urusan yang kecil-kecil pun Nabi Muhammad memberikan teladan cara berbuat baik pada istri, misalnya hadis-hadis yang menceritakan kesibukan Rasulullah di dapur, beliau menjahit sendiri pakaiannya yang robek, ketika pulang malam tubuh mulianya berbaring di depan pintu rumah agar tidur istri tidak terganggu. Kalau tentang panduan menjadi suami yang baik, luar biasa banyak yang telah dicontohkan Rasulullah.
Tetapi, nilai kebaikan itu berbeda-beda bagi setiap orang. Mungkin banyak istri mabuk kepayang, bahkan memuji setinggi langit kebaikan suami yang mengajak makan enak candle light dinner di restoran mewah. Namun, ada pula istri yang menderita batin diajak makan macam itu dan memandangnya sebagai pemborosan. Dia malah bahagia tatkala diajak makan bersama di rumah saja dengan acara masak-masak bersama. Begitulah manusia, kepala sama hitam, tapi seleranya beda-beda.
Di sinilah pentingnya dialog keterbukaan, tanpa dialog maka akan sering terjadi pergesekan dimana suami merasa sudah berbuat baik, tapi istri merasa disakiti. Komunikasi adalah kunci. Tanpa kunci kita tidak bisa membuka pintu hati. Sayangnya, dialog itu membutuhkan waktu, dan kalau sudah bicara waktu biasanya orang-orang akan terkendala kesibukan. Padahal, sebenarnya dialog itu bukan masalah waktu, melainkan perkara niat baik yang terpancang di hati.
Menariknya, sehabis shalat Ashar, Rasulullah berkeliling mengunjungi istrinya satu per satu. Ya, sehabis Ashar adalah waktu khusus bercengkrama bersama istri yang jumlahnya banyak.
Dialog kebaikan itu tidak selalu mulus, karena karakter istri berbeda-beda; Zainab binti Jahsy yang merasa derjatnya tinggi dari keluarga bangsawan, Aisyah yang keras dan pencemburu, Hafsah yang sensitif, belum lagi istri-istri lain yang merupakan barisan janda-janda tua, yang satu janda saja jumlah anaknya bisa membentuk klub sepakbola.
Singkat kata, kalau benar-benar dipelajari sejarah hidup Nabi Muhammad, laki-laki akan berpikir seribu kali atau bahkan lebih untuk menikahi banyak istri. Memang berat, tetapi Rasulullah tetap melakukan dialog agar menjadi suami yang baik. Memang ada Allah yang secara langsung membimbing Rasulullah, tetapi beliau tetap mendengarkan pendapat istri-istrinya.
Hadis sebelumnya memulai dengan gambaran tentang karakter mukmin yang terbaik. Bagaimana sih caranya menjadi orang beriman yang sempurna? Yaitu, dengan memiliki budi pekerti yang baik. Nah, ujung hadis ini yang paling menarik, tatkala seorang mukmin itu punya budi pekerti baik, maka dia dibimbing menjadi sebaik-baiknya suami dengan berbuat baik kepada istrinya.
Singkat kata, ketika iman yang sempurna itu melahirkan budi pekerti yang baik, maka muara pertamanya adalah dengan menjadi suami yang baik.
Wahai para istri, bacalah dan pahamilah surat At-Tahrim ayat 1, dimana Allah menegur dengan baik Nabi Muhammad yang dianggap terlalu ingin menyenangkan hati istrinya. Dari ayat ini sesungguhnya Allah mengingatkan kita semua; berbuat baik pada istri bukanlah dengan cara melawan ajaran agama.
Para istri harus memperhatikan ayat ini, jangan sampai demi berbaik-baik dengan istri, justru suaminya terpaksa mengingkari perintah Allah. Karena, bila hal ini terjadi maka istri yang akan tertimpa dosanya.
Dari itulah istri-istri pun perlu membantu suami agar menjadi baik. Suami juga manusia biasa dan begitu pula dengan istri. Tidak mungkin suami menjadi sempurna kebaikannya, karena kesempurnaan hanya milik Allah. Sebagai orang yang beriman, kita sama-sama bersyukur memiliki agama yang amat baik, yang memberikan tuntunan menjadi orang baik. Apabila ada silang sengketa, kita punya banyak rujukan dalam Al-Qur’an dan hadis-hadis yang akan menjadi standar kebaikan seperti apa yang diredai Allah dan Rasulullah.
KOMENTAR ANDA