Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

FULI, si cheetah, tiba-tiba merasa ‘kelelahan’. Sebagai hewan tercepat di jagat rimba, ia terbiasa berlari. Sedemikian cepat melewati lembah, hutan, dan mendahului hewan-hewan lainnya.

Berkali-kali berlari dalam satu hari, ia merasa kehidupannya membosankan. Hingga sang sahabat, Kion, singa kecil yang perkasa dan bijaksana, menyuruhnya untuk berjalan.

Meski sulit, Fuli menjalankan usulan Kion. Ia mencoba berjalan, bukan berlari. Dan benarlah. Ia menyadari telah melewatkan keindahan lembah-lembah yang mengelilingi hutan. Fuli bahkan baru menyadari betapa indahnya alam hutan, langit biru, juga asyiknya bertegur sapa dengan hewan-hewan lain.

Sepenggal kisah Fuli dalam serial The Lion Guard milik Disney (salah satu tontonan favorit anak-anak saya) ini tiba-tiba melintas di benak. Sesuatu yang menjadi hikmah dari pandemi global bernama Covid-19.

Mari menapak tilas perjalanan kita di tahun 2020 ini. Mengawali tahun baru, tentulah kita sudah merencanakan berbagai target untuk dicapai, baik secara profesional maupun personal.

Seorang penulis menargetkan menerbitkan dua buku. Seorang jurnalis menargetkan harus meraih penghargaan menulis. Seorang manajer marketing menargetkan dapat memenuhi target tahunan perusahaan dalam waktu enam bulan. Seorang ibu rumah tangga memancang target: tahun ini anak-anaknya harus masuk posisi lima besar. Seorang lajang menargetkan tahun ini mendapat promosi di kantor dan ganti mobil baru. Seorang mahasiswa menargetkan lulus dengan cumlaude. Dan banyak lagi.

Setelah menetapkan target, maka perjuangan pun dimulai. Masing-masing memiliki cara untuk memenuhi target. Ada yang sanggup bekerja cerdas, ada yang hanya bisa bekerja keras. Hari demi hari dilalui dengan fokus pada pencapaian target. Tidak ada waktu untuk bersantai. Tidak ada kamus menggeluti hobi. Istilah weekend vibes dianggap sama dengan “bekerja lembur” atau “mengerjakan side job di akhir pekan” yang dianggap lebih penting dari menghadiri kumpul-kumpul keluarga besar.

Mayoritas target yang ingin dicapai adalah bersifat duniawi, didominasi materi meski ada pula prestasi. Ujung-ujungnya untuk meningkatkan prestige. Dan karena waktu adalah uang, maka kita pun berkejaran dengan waktu untuk mendapat sebanyak-banyaknya uang. Begitu kira-kira.

Lalu apa yang terjadi?

Dalam sekejap, corona melumpuhkan Wuhan. Dan karena China sudah menjadi negara super power yang warganya dan produk-produknya membanjiri dunia sekaligus didatangi jutaan orang dari berbagai penjuru dunia, virus corona pun bertransformasi menjadi pandemi. Hanya dalam waktu tidak sampai satu bulan, satu per satu negeri di bumi ini terinfeksi Covid-19.

Kita bukan Aladdin yang punya lampu ajaib untuk digosok berharap ‘era’ corona segera berakhir dalam hitungan detik. Yang kita butuhkan adalah membuka mata dan hati lebar-lebar.

Jangan hanya memenuhi otak dengan berbagai info, data, dan hoaks seputar corona yang bikin kita stres berkepanjangan, tapi mencari berbagai hikmah dari fenomena yang lebih mencekam dari film-film horor di bioskop ini. Salah satunya: corona membuat kita melambat sejenak.

Kita tidak perlu tergesa-gesa menjalankan runitas harian: bangun tidur, shalat subuh, mandi, sarapan, menerjang kemacetan demi berangkat ke kantor, berkutat dengan pekerjaan hingga malam, pulang, lalu tidur. Hangout sesekali bersama teman-teman, sekadar melepas penat. Siklus yang mau tidak mau kita jalankan demi mencapai target yang kita tetapkan di awal tahun.

Corona memang meluluhlantakkan hampir semua target kita. Menepikan kita dari hamper segala life goals kita. Menjauhkan kita dari cita-cita yang kita buat resolusinya di akhir tahun lalu. Bisa dibilang, semua seolah musnah dalam sekejap. Setidaknya untuk saat ini. Karena corona membuat kita melambat dalam segala urusan.

Namun, sadarkah kita bahwa dengan melambat sejenak kita dapat menghayati makna kehidupan dengan lebih bersahaja dan merasakan kenikmatannya?

Ketika dunia melambat, lihatlah laporan dari seluruh dunia: langit berwarna biru, padahal selama ini keruh. Polusi berkurang drastis karena penggunaan bahan bakar kendaraan menurun tajam. Udara pun terasa lebih segar. Tidak ada kemacetan yang membuat stres. Tidak ada kerumunan dan antrean di ruang-ruang publik yang kerap menimbulkan gesekan dan keributan.

Jika selama ini media sosial disesaki foto dan video orang-orang memamerkan kegiatan traveling mereka ke berbagai negara di dunia, kini semua berlomba memasang tagar #dirumahaja. Meneriakkan home sweet home dan urgensi physical distancing. It’s just that simple.

Melambatlah sejenak, begitu ‘titah’ corona. Dan lihatlah bahwa kebahagiaan benar-benar bisa dirasakan tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga dan waktu. Bahwa esensi kebahagiaan teramat bersahaja dan bukan tentang materi.

Corona hanya melambatkan, bukan mematikan. Kapan lagi menikmati waktu 24 jam bersama orang-orang terkasih? Bagi anak-anak, corona mungkin membuat bosan. Tapi mereka menikmati betapa orangtua ada di samping mereka sepanjang hari. Mau tak mau, bonding orangtua dan anak pun menguat. Bercerita, bercanda, memeluk, tanpa ada batasan waktu.

Orangtua yang selama ini memercayakan pendidikan kepada guru di sekolah juga merasakan ‘indahnya’ mendidik anak. Baru satu pekan, mommies sudah kehilangan kesabaran. Belum lagi jika harus membantu mengerjakan tugas dua atau tiga anak sekaligus. Dimana keindahannya? begitu protes orangtua.
 
Take a deep breath and look at your children. Orangtua dapat mengenali sejauh mana anak mampu beradaptasi dengan sistem pendidikan di sekolah. Mengetahui cara belajar seperti apa yang sesuai dengan karakter anak.

Bagaimana mengatasi kesulitan belajar anak. Termasuk juga, orangtua akan terkejut menyaksikan betapa anak-anak tumbuh cerdas dan kaya wawasan. Corona memberi waktu untuk orangtua berperan nyata dalam proses pembelajaran anak. Hitung-hitung merasakan sensasi homeschooling.

Melambatlah sejenak, agar kita tidak kelelahan mengejar dunia. Melambatlah sejenak, resapi keindahan apa yang ada di sekitar kita. Melambatlah sejenak, agar syukur dan sabar selalu bersemayam di hati kita.

Jadi, di balik segala duka dan keresahan yang diakibatkan, mari selipkan syukur pada keadaan yang membawa hikmah ini. Berkatnya, kita merasakan hidup bersahaja yang begitu sederhana dan bermakna. Undeniable.

 




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur