JUDUL tulisan ini—terus terang—mencontek judul lagu Wake Me Up When September Ends milik band rock alternatif Green Day yang dirilis tahun 2005. ‘Lagu wajib’ bagi mereka yang sedang dilanda duka.
Meski Billie Joe Amstrong, vokalis sekaligus pencipta lagu ini mengaku Wake Me Up When September Ends berkisah tentang rasa sedih berkepanjangan setelah ditinggal sang ayah akibat kanker tahun 1982, banyak orang mengaitkan lagu ini dengan tragedi 9/11.
Wake Me Up When September Ends kemudian juga dipakai sebagai lagu penghormatan bagi para korban badai Katrina di Amerika.
Dihantui kesedihan, rasanya memang seperti berada dalam mimpi buruk. Kita hidup, tapi tidak bisa menjalani hidup dengan segenap semangat dan suka cita. Adrenalin seolah menguap entah ke mana.
Padahal, adrenalin yang terpacu adalah salah satu tanda kesiapan kita menghadapi berbagai tantangan dalam hidup ini.
Apa yang sedang kita alami saat ini bisa jadi serupa dengan duka berkepanjangan yang dirasakan Billie Joe.Bahkan, makin hari tampak makin suram. Angka korban Covid-19 terus saja bertambah.
Di minggu pertama April, korban terinfeksi di seluruh dunia mencapai 1 juta lebih jiwa. Berita-berita buruk kian memenuhi laman media online dan televisi, meskipun banyak orang pula yang mencoba menyuarakan hal-hal positif.
Meski kita tahu tetap lebih banyak orang yang sembuh daripada yang meninggal, rasa takut kita masih enggan menjauh.
Di tengah kebosanan dan kecemasan yang kian menumpuk, sesungguhnya kita memiliki banyak waktu luang untuk memikirkan hari esok. Marilah sejenak berandai-andai: Apa yang akan kita lakukan jika wabah Covid-19 ini menghilang dari kehidupan kita?
Pasti akan banyak sekali keinginan yang kita wujudkan. Bukan hanya mengulang resolusi awal tahun 2020 yang belum kesampaian melainkan impian-impian baru yang mungkin baru tersadarkan di saat kita harus stay at home.
Siapa sangka, corona mampu menghadirkan new perception dalam hidup kita. Sudut pandang baru yang sebelumnya tidak pernah terpikir atau kita anggap tidak penting dalam hidup kita. Sudut pandang yang dapat melengkapi kehidupan kita sebagai pribadi maupun bagian dari kelompok sosial.
Tidak sekadar sudut pandang baru, hari-hari social distancing juga melahirkan kesiagaan baru. Kesiagaan menghadapi situasi bencana. Kewaspadaan menghadapi situasi darurat. Termasuk juga, kesiapan mental untuk tidak terjebak kepanikan.
Ya...disadari atau tidak, meski kita tidak menginginkannya, corona menjadi “guru” bagi kita yang mempersilakan kita mengulik kekuatan diri kita, menguji nyali, juga membiarkan kita belajar lebih bijak serta lebih bertanggung jawab.
Percaya atau tidak, jika kita bisa menghadapi pandemi ini, kita akan menjadi pribadi yang lebih kuat. Itu pasti.
Bagi kita yang kemarin ini masih menjadi panic buyer, atau sebaliknya, selalu kehabisan barang-barang yang menjadi ‘primadona’ saat pandemi, ke depannya kita akan menjadi smart buyer. Kita menjadi lebih sigap tanpa harus berlebihan hingga mengambil hak orang lain.
Corona juga menjadi guru terbaik yang mengajarkan kita untuk menahan diri. Kita dipaksa berpikir berkali-kali jika ingin melakukan hal-hal yang lebih berupa keinginan, bukan kebutuhan. Membuat kita memiliki urutan prioritas yang berbeda dibanding sebelumnya.
Dan prioritas baru yang kita miliki ini terasa lebih hakiki. Tidak dipenuhi hal-hal seremonial, basa-basi, atau sekadar mengejar gengsi.Sekali lagi, kita tidak perlu merasa pilu atau sakit meski corona membatasi langkah kaki kita.
Langkah boleh tersendat, tapi hati akan menjadi lebih tajam dan lebih kaya empati. Tidak perlulah kita terlalu memelihara lara dan memilih ‘tertidur’ selama corona, karena pandemi akan mengeluarkan sisi terbaik kita. To become the best version of ourselves. Insya Allah.
KOMENTAR ANDA