Foto : Disway
Foto : Disway
KOMENTAR

DRAMA kecil kembali terjadi di Gedung Putih. Kemarin. Yakni ketika kali kedua Presiden Donald Trump merekomendasikan obat malaria ini: Hydroxychloroquine. Sebagai obat untuk Covid-19 di Amerika.

Trump tahu: itu obat malaria. Trump tahu: FDA belum memberikan persetujuan untuk digunakan pada Covid-19. ”Tapi sekarang ini begitu banyak orang yang sekarat. Masak masih harus menunggu hasil penelitian dua tahun lagi,” begitu kurang lebih Trump menegaskan.

Di sebelah Trump berdiri Dr Anthony S. Fauci. Ia Ketua Institut Alergi dan Penyakit Menular Amerika. Wartawan tahu: Fauci termasuk yang belum setuju penggunaan Hydroxychloroquine. Maka setelah penegasan kali kedua dari Trump itu wartawan kembali mengajukan pertanyaan pada Fauci.

Rupanya Trump sewot. Sebelum Fauci sempat menjawab, Trump sudah memotong pembicaraan. ”Sudah berapa kali ia menjawab pertanyaan seperti itu. Mungkin sudah 15 kali,” sergah Trump.

Presiden pun menjelaskan pemerintah sudah membeli 29 juta Hydroxychloroquine. Sudah dikirim ke lab, ke militer, dan ke rumah-rumah sakit.

Trump memang pernah begitu berbinar ketika kali pertama mendapat laporan soal kemampuan obat itu. Sampai-sampai ia menyebutnya sebagai ”game changer”. Obat yang akan mengubah nasib buruk Amerika dalam menghadapi Covid-19 sekarang ini.

Rupanya memang sudah ada penelitian untuk obat malaria itu. Penelitian baru. Yang sudah dikaitkan dengan bencana Covid-19.

Yang melakukan penelitian adalah ahli dari Brazil. Yang presidennya diisukan dikudeta oleh militer tadi malam karena dianggap tidak becus menanggulangi Covid-19 --tapi ternyata tidak benar.

Sehari penuh, kemarin, saya sisihkan waktu membaca publikasi panjang ahli dari Brasil itu.

Saya kutipkan saja kesimpulannya: pasien yang diberikan hydroxychloroquine yang dikombinasikan dengan macrolide antibiotic Azithromycin 100 persen sembuh.

”Tapi kalau hanya diberikan Hydroxychloroquine saja, tanpa kombinasi itu, hanya 57 persen yang sembuh,” tulisnya.

Peneliti itu bernama Sandro G. Viveiros-Rosa dan Wilson C. Santos. Mereka dari Universidade Federal Fluminense, Rio de Janeiro.

Di Tiongkok, hydroxychloroquine juga masuk dalam daftar 10 obat yang diizinkan dipakai di Covid-19.

Yang menarik, salah satu obat yang juga masuk daftar 10 itu penemuan Tiongkok sendiri. Termasuk hasil penemuan terbaru.

Nama obat itu: 可利霉素.

Tanggal persetujuannya baru: 26 Maret 2020.

Inilah berita resminya.

Video itu diambil dari siaran resmi TV nasional di Tiongkok. Hampir semua TV di sana adalah milik pemerintah. Selebihnya milik partai komunis --yang memerintah.

Setengah mati saya mencari ejaan latin dari 可利霉素 itu. Saya tebak saja dari bunyi huruf-huruf itu: Kalimicin.

Oh... mungkin Calimycin. Atau Colimycin.

Saya cari di Google dua kata itu. Ketemu. Tapi bukan itu yang dimaksud. Memang Calimycin nama obat, tapi bukan produksi Tiongkok. Kegunaannya juga beda.

Berbagai simulasi-kata saya reka-reka lagi. Gagal lagi.

Teman saya di Tiongkok pun hanya tahu nama obat itu dalam huruf Mandarin. Tidak tahu apakah padanannya dalam huruf latin.

Sehari penuh, dua hari lalu, waktu saya habis untuk menebak-nebak nama obat itu dalam huruf latin. Maklum saya bukan dokter. Pengetahuan saya terbatas.




Ji Chang-wook Gelar Fansign di Jakarta 12 Mei Mendatang, Siap Suguhkan Pengalaman Istimewa bagi Para Penggemar

Sebelumnya

Cerita Pengalaman Vloger asal China Menginap di Hotel Super Murah Hemat Bajet

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Disway