LIHATLAH laporan foto dari berbagai kota di penjuru dunia, termasuk Jakarta. Langit cerah berwarna biru dan awan putih tampak indah. Puncak gunung terlihat. Jalan-jalan raya sepi, sangat lengang.
Berbeda 180 derajat dari keseharian kita sebelum pandemi corona: langit keruh meski di pagi hari, jalanan macet dan padat, ditambah suara bising yang memekakkan telinga.
Biasanya, bumi tak pernah sesepi ini. Dalam satu hari, ada orang yang bisa bepergian hingga ke tempat dalam satu kota. Ada yang bepergian ke dua hingga tiga kota. Ada pula yang dalam seminggu bisa pergi ke dua hingga tiga negara.
Mobil lalu-lalang. Commuter line, MRT, LRT, trem. Ribuan pesawat terbang di seluruh dunia mengikuti kesibukan manusia. Semua menggunakan bahan bakar yang tidak dapat dipungkiri telah mencemarkan alam.
Bumi kini sedang melakukan detoksifikasi. Membersihkan diri dari racun-racun polusi yang menggerogotinya. Haruskah kita senang?
Tentu saja kita harus senang. Kita pasti merasa bahagia tiada tara.
Tapi yang harus kita pertanyakan kepada nurani kita adalah: haruskah kita membiarkan corona datang lebih dahulu untuk membersihkan bumi kita? Mengapa harus corona, bukan kita?
"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar." (QS. Ar-Rum: 41)
Tentang ayat di atas, banyak dari kita sudah sering membaca atau mendengarnya. Tiap kali terjadi bencana alam, banyak ustaz banyak mengutip ayat ini untuk mengingatkan betapa jahat perbuatan manusia terhadap bumi.
Manusia, yang seharusnya menjadi khalifah terbaik di muka bumi, justru merusak. Alam dieksploitasi tanpa memikirkan kelangsungan hidup anak cucu kelak di masa depan. Hutan digunduli, area resapan air diganti gedung pencakar langit, sungai dan laut dikotori sampah plastik.
Memang tidak semua manusia merusak. Tapi jumlah mereka yang memprotes kehancuran alam dan menjalankan eco lifestyle jauh lebih sedikit daripada mereka yang memporak-porandakan alam demi mengeruk keuntungan.
Masalah pelestarian lingkungan kerap kali dibenturkan dengan urusan perut yang menjadi hajat hidup orang banyak. Mengeruk sumber daya alam dengan cara yang mudah dan cepat hingga menghasilkan produk yang murah menjadi dalih untuk ‘membantu’ kehidupan masyarakat kurang mampu. Memusingkan.
Lalu, kembali kepada hari ini, haruskah kita senang saat bumi lebih terang dan nyaman?
Ya, tentu saja. Covid-19 memang ‘mencerahkan’ bumi, dan kita kini berperang melawan pandeminya agar kehidupan manusia bisa kembali berjalan seperti sebelumnya. Kita beristighfar, memperbanyak ibadah, sekaligus menjaga fisik dari kemungkinan tertular dan menulari Covid-19.
Dan karena kali ini kita sudah ‘dikalahkan’ oleh corona, kita wajib menghadirkan tekad untuk tidak kembali merusak bumi manakala pandemi berakhir. Harus ada kesadaran yang lebih besar dalam diri kita untuk tetap menjaga keindahan alam yang terlihat saat ini. Harus ada kekompakan yang lebih terbina antarmanusia agar kesadaran hidup go green dan zero waste semakin meluas di lebih banyak hati kita.
Dalam Islam, kita mengetahui bahwa "sebaik-baik manusia adalah siapa yang paling bermanfaat". Maka mulailah dari diri kita sendiri untuk memberi contoh lalu mengajak yang lain untuk menyadari pentingnya menjaga kelestarian bumi dan isinya.
Corona, menghilanglah segera. Mudah-mudahan manusia bisa meneruskan ‘jejak’mu mengurangi polusi dari muka bumi.
KOMENTAR ANDA