MENJADI Muslim yang kaffah (sempurna) keimanan dan keislamannya adalah keinginan setiap kita. Namun apa daya, tipu daya dunia begitu sulit untuk dilawan. Tak ayal keinginan itu tinggal sebatas keinginan. Tidak ada langkah nyata untuk mewujudkannya.
Mulai dari kehidupan kita yang berjalan normal hingga kini memasuki masa pandemi Covid-19, rasanya kita selalu menjadi seseorang yang biasa-biasa saja. Dengan alasan tidak ingin menjadi ekstrem, kita memilih untuk menjadi Muslim "garis tengah".
Merasa cukup dengan pengetahuan sejarah Islam dan pemahaman tentang Islam yang kita miliki sejak kecil. Tidak merasa perlu dan butuh untuk mengikuti kajian lagi.
Sementara kita dengan rajinnya mengikuti webinar, workshop, dan diskusi terbuka seputar politik, eksistensi milenial, pemberdayaan perempuan, hingga business coaching. Semua sebagai jalan bagi kita untuk menjadi manusia yang tangguh dan mampu berkompetisi di era digital yang serba modern dan dinamis ini.
Tapi percayalah, manusia butuh keseimbangan dalam batinnya untuk bisa merasa nyaman dan tenang dalam menjalani semua tantangan kehidupannya.
"Yang disebut muslim sejati adalah yang selamat orang muslim lainnya dari lisan dan tangannya dan orang yang berhijrah adalah orang yang berhijrah dari perkara yang dilarang Allah." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari hadis di atas, kita bisa merenungi langkah kita menuju kaffah. Apakah kita termasuk orang yang selalu mempertanyakan dan merundung kebahagiaan orang lain? Apakah kita selalu mengomentari kehidupan orang lain? Apakah lebih banyak hujatan yang keluar dari lisan dan keyboard ponsel kita daripada kalimat-kalimat menyejukkan?
Kita kerap berkomentar pedas tentang kegagalan atau kesulitan yang dialami orang lain. Entah itu dalam hati atau diungkapkan ke ruang publik. Sepertinya begitu mudah men-judge kehidupan orang lain tanpa memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Namun, ketika ada gerakan kemanusiaan atau kampanye menyuarakan hati nurani untuk melawan satu bentuk ketidakadilan, kita justru memilih bungkam. Tidak mau mengambil sikap. Seolah tak peduli. Itu berarti orang lain tidak selamat dari lisan dan tangan kita.
Di saat pandemi, kita melihat banyak sekali kebaikan bertebaran. Saling membantu menggalang dana untuk membeli APD bagi tenaga medis, memberi bantuan sembako bagi para pengemudi ojol, juga bagi-bagi masker gratis.
Namun sedihnya, banyak pula orang yang mencari keuntungan dengan cara tidak halal di masa pandemi. Padahal bisa jadi nyawa dan hajat hidup orang banyak menjadi taruhannya. Ada yang menipu dengan menjual masker bekas, ada yang menipu hingga ratusan juta rupiah dengan menjadi penjual masker fiktif. Naudzubillah.
Kita tak pernah tahu kapan pandemi akan berakhir. Apakah hidup kita akan kembali seperti dulu, atau kehidupan model ini akan menciptakan tatanan kehidupan yang berbeda nantinya? Kita tidak tahu. Yang perlu kita lakukan adalah memperkuat diri. Membentengi diri tidak hanya dengan antibodi fisik tapi juga antibodi mental di tengah ketidakpastian. Agar penyakit fisik tidak bertransformasi menjadi penyakit mental.
Saatnya kita berjalan menuju kaffah, menjadi seseorang yang membuat orang lain merasa tenang dan selamat di dekat kita. Saatnya kita berlari menuju kaffah, segera berhijrah dari segala kesia-siaan kepada manfaat dan maslahat.
Apakah kita ingin "lulus" dari masa pandemi dengan laporan khatam quran satu kali setiap minggu atau ‘khatam’ serial drakor satu judul setiap minggu. Menjadi ibu yang selalu marah tiap kali anak kita sulit memahami pelajaran saat LFH atau ibu yang semakin sabar dan kreatif mencari cara agar anak mudah melalui kesulitan belajarnya. Nurani kita sesungguhnya tahu pilihan mana yang benar, bukan sekadar pilihan yang diinginkan.
Kuy lah! Kata anak zaman now. Sudah pandemi begini, masak sih, masih menjauh dari hijrah? Yakin tidak ingin menjadi kaffah mulai sekarang? Kapan lagi jika bukan sekarang? Mudah-mudahan kaffah-nya kita akan melahirkan husnul khatimah. Wallahu a’lam bishshawab.
KOMENTAR ANDA