MANUSIA zaman now semakin kritis. Sedikit sedikit mengkritik. Bahkan seringkali kritik yang diberikan tidak mengarah pada substansi.
Cara mengkritik pun semakin tak karuan. Seenaknya memaki di ruang publik, offline maupun online. Seolah kesantunan sudah menjadi barang langka. Kesantunan dianggap bukan langkah tepat untuk mengkritik.
Padahal, Allah berfirman: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 12)
Kritik adalah bagian dari dakwah dan dakwah adalah kebutuhan sekaligus kewajiban kita. Dakwah bukan hanya menyampaikan ceramah di atas mimbar layaknya para dai dan ustaz. Dakwah harus menjadi bagian dari helaan napas manusia selama hidup di dunia.
Dakwah adalah kebutuhan rohani. Mengapa demikian? Karena fitrah manusia menyukai kebenaran, keharmonisan, keteraturan, keindahan, dan kedamaian. Manusia sejatinya menginginkan hal-hal baik dalam kehidupannya.
Karena itulah, manusia memiliki naluri untuk berdakwah; mengajak orang lain kepada kebaikan.Satu hal penting yang harus diingat adalah ayat ke-12 surah An-Nahl di atas, yaitu “menyeru dengan baik dan membantah dengan baik”. Ayat tersebut menjelaskan pentingnya memelihara kesantunan dalam berdakwah.
Kepada siapa pun, tanpa pandang bulu, kita tetap harus santun. Bukankah Rasulullah saw. telah mencontohkan keluruhan akhlak dalam menghadapi nonMuslim dalam jalan terjal dakwah beliau?
Kisah dakwah Rasul di Thaif adalah salah contoh yang paling sering diceritakan. Bagaimana Muhammad berjalan kaki ke kota Thaif disertai optimisme bahwa masyarakat di sana akan menerima tauhid dan bersyahadat. Namun, setelah menemui para pembesar Thaif, Rasul malah dihina, diolok-olok, hingga terluka akibat dilempari batu.
Melihat hal itu, Jibril menawarkan ‘bantuan’ untuk menimpa Thaif dengan dua gunung. Muhammad menolaknya. Beliau bahkan berdoa agar kelak ada umat bertakwa yang lahir dari Thaif. Masya Allah. Thaif. Ingatlah itu selalu ketika kita memutuskan untuk mengajak orang lain kepada kebaikan.
Sekalipun ditolak, dimusuhi, difitnah, bahkan dianiya, jangan putus mengingat Thaif. Karena kekuatan Rasul untuk tetap sabar harus menjadi kekuatan kita juga.
Tapi kita manusia biasa, bukan nabi. Sabar kita ada batasnya. Bagaimana mungkin manusia biasa sesabar Muhammad utusan Allah?
Istighfar menjadi kunci menenangkan diri. Pertanyakan kembali apa tujuan kita menyerukan kebaikan pada orang lain. Jika tujuan kita benar-benar ingin menegakkan nilai-nilai Islam yang hakiki, nilai-nilai tersebut tentulah tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
Dan untuk mewujudkannya, tidak ada jalan lain selain menuntun dengan santun.
Jika tak sikap santun, yang ada hanyalah debat kusir yang berujung saling hina dan saling hujat lalu mencari sebanyak-banyak teman untuk mendukung.
Kebenaran menjadi buram dan sulit terlihat karena sudah tertutupi keegoisan, adu gengsi, dan kemarahan. Santun adalah cara kita untuk tetap waras dan istiqamah.
Menuntun dengan santun di zaman now memang bukan perkara mudah. Hoaks sangat mudah dibuat dan diviralkan. Kebaikan bisa berbalik tampak sebagai kejahatan. Tapi bukan berarti kita harus berdakwah dengan beringas. Karena pasti tak ada orang mau berbuat baik jika diajak dengan cara yang tidak baik.
Maka ketika emosi kita masih membara dan ingin sekali membalas kritik pedas orang lain dengan kalimat yang tak kalah kasar, ucapkanlah dengan kesadaran mendalam “astaghfirullah”...
lalu ingatlah Thaif, Thaif, dan Thaif. Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
KOMENTAR ANDA