KITA pasti tidak ingin puasa yang kita kerjakan sebulan penuh hanya menyisakan lapar dan dahaga. Lebih tragis lagi, kita tentu tak ingin kita menjadi Muslim yang bangkrut di bulan suci.
Menurut Ustaz Adi Hidayat, seperti yang dimuat dalam saluran Quran Sunnah Solution, ada orang-orang yang mendapat pahala puasa tapi kemudian menjadi bangkrut karena pahala puasanya berguguran sedikit demi sedikit.
Apa yang mereka lakukan hingga pahala puasa mereka berkurang satu demi satu?
Di antara empat hal yang mengurangi pahala puasa adalah mencela, berselisih, berbohong, dan berghibah. Empat hal tersebut memang tidak membatalkan puasa. Tapi dengan melakukannya, maka puasa kita menjadi tak bernilai apa pun, alias nol (pahala).
Ustaz yang dianugerahi gelar kehormatan Doktor Honoris Causa dari Universitas Astrolabe Istanbul, Turki itu mencontohkan andaikan kita seharusnya mendapat 100 pahala puasa, maka ketika kita mencela orang lain, berselisih dengan orang lain, membohongi orang lain, dan membicarakan aib orang lain, pahala kita akan berkurang sedikit demi sedikit. Bisa jadi, akhirnya nyaris nol, sama dengan nol, atau bahkan minus! Naudzubillah.
Maka kita wajib mengingat bahwa Ramadhan tidak lebih dari 30 hari. Waktu yang terbilang singkat untuk berbenah dan bersih-bersih diri.
Itu adalah 30 hari paling krusial dalam hidup kita karena akan menjadi fondasi ketakwaan selama 11 bulan ke depannya. Itulah 30 hari yang akan menentukan siapa dan bagaimana diri kita selepas Ramadhan.
Ramadhan adalah pembuktian.
Membuktikan apakah kita mampu memelihara istiqamah untuk menjadi hambaNya di tengah ingar bingar kehidupan dunia. Apakah kita sanggup untuk memprioritaskan Allah dan membuktikannya dalam bentuk ibadah yang lebih baik kuantitas dan kualitasnya. Dan apakah kita bisa menyimpan sekaligus menumbuhkan spirit Ramadhan untuk bulan-bulan setelahnya.
Maka jelaslah bahwa kita tidak boleh menjadi hamba yang bangkrut di bulan puasa. Karena kita akan menjadi sangat merugi dan bodoh karena menganggap remeh lautan kasih sayang, ampunan, dan pembebasan dari api neraka yang Allah janjikan selama Ramadhan.
Betapa bodohnya kita menyia-nyiakan kesempatan emas untuk menjadi pribadi pilihan, karena nilai manusia ditentukan dari siapa yang paling bertakwa. Bukan siapa yang paling kaya, paling cantik, atau paling masyhur karena punya puluhan juta follower. Dan jalan terbaik menuju takwa adalah dengan berpuasa wajib di bulan Ramadhan (Al Baqarah ayat 183).
A’uudzubika min syarri nafsii. Aku berlindung kepadaMu dari kejahatan diriku. Salah satu bait dari rangkaian dzikir pagi ini hendaknya selalu kita lantunkan agar kita tidak dibodohi bisikan-bisikan yang menggoda untuk ‘meminggirkan’ Ramadhan demi mengejar dunia.
Lantas apa yang harus dilakukan jika ada orang yang menghina, memfitnah, dan mencela kita di bulan suci?
Ini jawaban Rasulullah: “Jika salah seorang di antara kalian berpuasa maka janganlah berkata keji dan mencela, namun jika seseorang mencela atau memukulnya, maka hendaknya ia berkata: Sesungguhnya saya sedang puasa.” (HR. Bukhari-Muslim)
“Sesungguhnya saya sedang puasa”, kalimat itu mengandung makna yang mendalam. Bukan sekadar ucapan untuk menolak tawaran makan dan minum.
“Sesungguhnya saya sedang puasa” adalah kalimat penyadar dan penguat batin kita untuk tetap sabar.
“Sesungguhnya saya sedang puasa” adalah pagar yang menjaga agar emosi tidak ‘keluar garis’ lalu membuat kita menyesalinya seumur hidup.
“Sesungguhnya saya sedang puasa” adalah penegasan bahwa kita adalah Muslim yang menginginkan ketenangan hati agar puasa dan berbagai munajat yang menyertainya menjadi tabungan kebaikan kita di akhirat kelak.
Mari menjadi lebih bijak. Mari menjalankan puasa seolah ini adalah Ramadhan terakhir kita.
KOMENTAR ANDA