SIAPA bisa menerka, buku Merentas Sketsa Jalan, Menuju Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem Dalam Pengurusan Hutan Berperspektif Lanskap Di Indonesia buah pemikiran dan gagasan Prof. Dr. Ir. H. Endang Suhendang, MS. IPU, Guru Besar Ilmu Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), nyatanya lahir dari celotehan yang disuarakan ketiga anak Prof. Endang—Jati, Suci, dan Galuh: “Aki (Aki Ndhang, begitu Prof. Endang dipanggil oleh cucu-cucunya), masak selama 39 tahun berkiprah sebagai dosen tidak ada yang bisa diberikan kepada negara? Malu atuh!”
Celotehan itulah yang menjadi motivasi terbesar bagi lelaki kelahiran Ciamis tahun 1955 ini untuk menuntaskan sebuah buku yang ia dedikasikan untuk cucu-cucunya, sebagai bukti pengabdiannya terhadap bangsa dan negara, terutama berkaitan dengan bidang yang amat dekat dan dikuasainya: kehutanan.
Berkiprah sebagai dosen di IPB sejak tahun 1981, Prof. Endang telah menghasilkan banyak penelitian, penulisan ilmiah, juga menguji ratusan skripsi dan tesis mahasiswa. Namun demikian, fokusnya menjadi akademisi tidak menghalangi Prof. Endang untuk aktif dalam berbagai forum, organisasi, dan proyek kerja sama seputar kehutanan di dalam dan luar negeri.
Di antara bukti keaktifan dan pengabdian Prof. Endang di bidang kehutanan adalah sejak tahun 1997 hingga sekarang, namanya tercatat anggota International Society of Tropical Foresters (ISTF), menjadi deklarator Asosiasi Profesor Indonesia (API) di tahun 2007, menjadi staf ahli Menteri Kehutanan di tahun 2001, serta tiga kali meraih penghargaan Satyalencana Karya Satya dari Presiden RI (tahun 1999, 2003, dan 2013).
Dalam buku ini, Prof. Endang menulis,
Seseorang,
yang dengan sengaja,
menanam pohon dan membangun hutan,
kemudian memeliharanya dengan ikhlas dan cinta,
secara tanpa sengaja,
ia telah menorehkan kenangan panjang hidupnya,
dan menjadikan dirinya,
bagian dari pelaku sejarah peradaban manusia,
di muka bumi.
Kita pun dengan mudah bisa mengatakan bahwa buku Prof. Endang ini tak kalah penting dari menanam pohon. Buku ini sejatinya mampu menjadi panduan bagi pemerintah, akademisi, praktisi, korporasi, LSM, organisasi pelestari lingkungan hidup, serta pihak-pihak lain yang ingin memperbaiki dan memberi arah baru terkait pengelolaan hutan di Tanah Air tercinta.
Buku MERENTAS SKETSA JALAN, MENUJU PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS EKOSISTEM DALAM PENGURUSAN HUTAN BERPERSPEKTIF LANSKAP DI INDONESIA adalah kristalisasi karya ilmiah terpilih yang dihasilkan suami dari Prof. (Ris) Dr. Ir. Hj. Nina Mindawati, M.Si ini selama mengabdi sebagai dosen di Fakultas Kehutanan IPB. Berbagai karya ilmiah tersebut telah disampaikan Prof. Endang dalam berbagai forum ilmiah di Indonesia maupun mancanegara dan/ atau dipublikasikan di berbagai jurnal dan media.
Saat ini, jika kita berbicara tentang hutan, mayoritas kita akan menyebut hutan adalah paru-paru bumi yang rusak. Mendengar kata hutan, yang terbayang adalah karhutla yang menggila di Sumatera dan Kalimantan hingga ratusan ribu hektar.
Tahun 2019, Jenderal Tito Karnavian yang saat itu menjabat Kapolri mengatakan bahwa land clearing saat musim kemarau menjadi penyebab terjadi dan meluasnya karhutla. Manusia jelas menjadi tersangka utama yang menyebabkan hutan meranggas lalu terbakar.
Pengelolaan hutan secara konvensional bisa dibilang gagal dalam melestarikan ekosistem hutan dan memakmurkan masyarakat secara luas. Karena itulah diperlukan ide baru dan arah baru untuk membenahinya. Dan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem (PHBE) adalah jawaban dan visi untuk masa depan kita.
Dalam buku ini, Prof. Endang menghadirkan falsafah dan perkembangan paradigma kehutanan, arah dan skenario pemantapan kawasan hutan, PHBE, strategi pembenahan hutan alam produksi, pembentukan hutan normal, multisistem silvikultur, ukuran kelestarian pengusahaan hutan produksi, dan metode pengaturan hasil berdasarkan jumlah pohon.
Bukan sekadar “sketsa” yang kadang masih abu-abu, di bagian akhir buku ini, Prof. Endang meringkaskan berbagai falsafah dan paradigma, arah dan strategi, metodologi, instrumen, monitoring-evaluasi, serta pengawasan yang dibutuhkan untuk mewujudkan visi, misi, dan tujuan penyelenggaraan pengurusan hutan di Indonesia. Semuanya dipaparkan dengan jelas dan detail hingga layak menjadi oasis dalam hal pengelolaan hutan di Indonesia. Sangat aplikatif.
Buku ini, sekali lagi, menjadi krusial dan strategis untuk memetakan langkah pengelolaan hutan Indonesia di masa depan. Dengan semakin banyaknya hutan yang gundul, semakin beringasnya manusia menghancurkan hutan, kita benar-benar memerlukan langkah penyelamatan untuk bisa menghijaukan kembali Indonesia dan membawa kembali kesejahteraan masyarakat bersama hutan.
Dalam kesehariannya, kakek tujuh cucu ini dikenal sebagai pribadi hangat yang sangat dekat dengan keluarga. Selain menjadi pendidik di IPB, Prof. Endang juga menjadi pendiri dan pengasuh yayasan pendidikan Islam—Nurul Huda di Pangandaran dan Miftahul Huda di Tasikmalaya.
Berkutat dengan sains justru membuka mata Prof. Endang tentang kekuasaan Allah yang tidak ternilai. Dalam prolog buku MERENTAS SKETSA JALAN, MENUJU PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS EKOSISTEM DALAM PENGURUSAN HUTAN BERPERSPEKTIF LANSKAP DI INDONESIA, Prof. Endang bersama sang istri menulis tentang Kebenaran Ilmiah sebagai Salah Satu Landasan dalam Kehidupan Berperadaban Tinggi.
Beliau menulis tentang kebenaran ilmiah berupa IPTEK yang kerap diagung-agungkan sebagai penentu peradaban tinggi suatu bangsa. Padahal ada nilai-nilai lain seperti spiritual, seni, dan adat istiadat yang tak kalah penting dalam membentuk peradabaan manusia.
Kebenaran ilmiah memiliki kelebihan pada sifatnya yang sudah teruji secara ilmiah hingga dapat diketahui apa dan bagaimana kebenarannya, universal, dan menunjukkan hasil yang sama jika diulang-ulang. Sementara akan sulit menjelaskan kebenaran yang bukan kebenaran ilmiah karena tidak memiliki ‘kepastian’ seperti yang ditawarkan kebenaran ilmiah. Dalam sejarah manusia, kebenaran selain kebenaran ilmiah diperoleh melalui kegigihan, secara naluriah (insting), dan berdasarkan ujaran penguasa atau leluhur yang dituakan.
Dalam prolognya, Prof. Endang juga menyinggung tentang kebenaran aqliyah, yaitu kebenaran yang diperoleh dari kekuatan akal pikiran manusia serta kebenaran naqliyah, yaitu kebenaran yang diterima manusia melalui wahyu Sang Khalik melalui para rasulNya.
Prof. Endang menekankan pentingnya para ilmuwan memiliki sifat arif dan rendah hati dalam menjalankan pengabdian di dunia ilmu pengetahuan. Ketika menemukan kenyataan yang seolah berbeda atau bertentangan dengan kebenaran dari Sang Khalik, jangan lantas menyalahkan kebenaran naqliyah. Para ilmuwan hendaknya menyadari bahwa kebenaran naqliyah adalah hakiki, mutlak, dan langgeng.
Dan kenyataan yang tampak tidak sesuai itu sejatinya adalah tanda bahwa manusia hanyalah makhluk yang menguasai IPTEK selangkah demi selangkah namun tidak akan mampu memahami berbagai gejala alam secara sempurna seperti yang termaktub dalam kebenaran naqliyah.
Menjadi ilmuwan sejatinya membuat manusia menyadari kelemahan dan keterbatasannya, termasuk dalam menafsirkan ayat-ayat Allah. Karena itulah, menurut Prof. Endang, kebenaran ilmiah sebaiknya diletakkan di tengah-tengah dan bukan menjadi penentu tingginya peradaban manusia.
Diperlukan sifat arif, tulus ikhlas, rendah hati, jujur, beretos kerja tinggi, cerdas, serta nilai-nilai budaya yang unggul untuk bisa bisa mewujudkan peradaban tinggi seperti yang dicita-citakan.
Buku ini rasanya bukan hanya membuka khazanah baru untuk mengelola hutan dan menyejahterakan masyarakat, melainkan juga menjadi pengingat bagi manusia untuk menyeimbangkan kehidupan duniawi dan kehidupan ukhrawi melalui ikhtiar dan tawakkal.
Terima kasih Prof. Endang. Buku ini akan menjadi catatan terbaikmu; dari Hutan untuk peradaban tinggi manusia Indonesia.
KOMENTAR ANDA