NASKAH 'Menumpas Corona-Birawa' (22 April 2020) memperoleh tanggapan dari guru besar ilmu pengetahuan budaya departemen arkeologi Universitas Indonesia, Prof. Agus Munandar.
“Kisah pewayangan yang menarik. Metaforenya tepat!” sambil mengirimkan foto arca Bhairawa diiringi komentar, “Inilah arca Bhairawa Chakra-chakra pemunah kejahatan, wabah dan bencana digubah pada zaman pemerintahan Raja Kertanagara di Singhasari (1268-1292 M). Hanya sayangnya sang Chakra-chakra sekarang di Negeri Belanda, kita segera minta dikembalikan saja untuk menjaga akasa-prthiwi Nusantara dari segala bencana. (keris sang Pahlawan Goa Selarong udah kembali, waktunya arca-arca Singhasari diminta juga)”.
Wabah
Sementara sang mahaguru lontaromologi, DR. Sugi Lanus berbagi sebuah naskah Ajaran Leluhur Bali Dalam Menyapa Wabah yang dimuat Bali Post (7 April 2020) yang kini saya petik bagian awalnya sebagai berikut:
Leluhur Bali memang mewariskan berbagai ajaran tertulis dan lisan untuk menghormati alam dan isinya. Secara konsisten ajaran ini teguh dipegang ketika wabah datang menghampiri. Para tetua memaknai yang wabah datang sebagai pembawa pesan dari niskala, “Mangda nenten merkak dados jadma” (Agar tidak congkak sebagai manusia). Datangnya wabah pun menjadi momentum kesadaran, “mulat sarira” (memasuki dan memahami diri).
Memeriksa ke dalam, bukan menyalahkan keluar. Wabah bisa menyerang lahan pertanian, ternak dan manusia. Para petani umumnya punya berbagai kisah kegagalan panen karena serangan hama. Biasanya disebabkan oleh hama walang sangit, ulat, wereng dan tikus. Hidup petani yang sahaja dibuat morat-marit. Walang sangit, ulat, wereng dan tikus seperti mengikat janji, bergilir menyerang sawah dan lumbung petani.
JRO
Alih-alih mengumpatnya, para petani malah memberi gelar kehormatan “jro” kepada wereng dan tikus. Hama diajak ngomong dan disapa dalam upakara: “Mekaon mekaon jro, mekaon jrone mekaon.” (Pergi pergilah tuan dan puan, pergi pergilah tuan dan puan).
Diucapkan tanpa nada benci. Jauh dari perasaan bermusuhan atau dimusuhi. Diucapkan dalam suasana ritus suci penaklukan hama, Nangkluk Mrana. Tikus diberi gelar kehormatan lebih spesifik sebagai “Jro Ketut”.
Kalau petani sudah habis-habisan berdoa, dan tetap saja subak dilalap tikus untuk kesekian kali panen, barulah tikus diburu. Ini dilakukan lewat prosesi permohonan maaf pinuning yang sangat serius. Perburuan dihayati sebagai ritus suci. Ditutup dengan upakara penyucian somya: Ngaben Tikus.
Baik Nangluk Mrana dan Ngaben Tikus dilandasi permintaan maaf dan permohonan suci kehadapan Batara Bedugul, berakar kata dari “Bedogol” (arca penjaga) yang tidak lain dari personifikasi Batara Hyang Ganapati (Ganeśa) yang menguasai segala kekuatan alam bawah dan penghubung ke alam atas.
Menyapa
Menarik adalah sementara saya terbiasa menggunakan kata melawan terhadap virus Corona, DR. Sugi Lanus menggunakan kata yang jauh lebih ramah yaitu menyapa.
Terasa bagaimana kearifan leluhur Bali menganggap virus sebagai bukan sesuatu yang harus dibenci apalagi dimusuhi, namun bagian dari kehidupan di alam semesta ini.
Kearifan leluhur Bali tidak menganggap alam semesta ini sebagai suatu kancah peperangan dengan saling merusak bahkan membinasakan dalam suasana destruktif, namun suatu kesatuan dan persatuan kehidupan yang jauh lebih indah apabila dihadapi dengan suasana konstruktif.
Maka filsafat kesehatan leluhur Nusantara memang lebih cenderung bukan kuratif membinasakan virus yang sudah terlanjur menyerang manusia namun lebih cenderung fokus pada upaya preventif sesuai paradigma kesehatan WHO abad XXI yaitu senantiasa menjaga kesehatan demi memperkuat daya tahan tubuh manusia agar mampu mencegah jangan sampai diserang oleh virus dan berbagai sumber penyakit lain-lainnya.
Penulis adalah pembelajar kearifan leluhur bangsa Indonesia
KOMENTAR ANDA