PANDEMI corona rupanya tak cuma menyuburkan kesetiakawanan. Di sisi lain, pandemi ternyata menyuburkan kecurigaan. Dihantui rasa was was berlebihan, kita seolah dipenuhi prasangka buruk terhadap orang-orang di sekitar kita.
Tetangga mencurigai tetangga. Terlebih jika ada yang ketahuan demam dan batuk. Tidak peduli apa penyebabnya, orang tersebut akan dijauhi dan keluarganya diminta pergi dari rumah.
Ada juga kasus penolakan pemakaman perawat korban Covid-19 di daerah tempat tinggalnya, Dusun Sewakul, Ungaran Barat, Semarang. Ketua RT mengatakan penolakan itu adalah aspirasi warga. Padahal almarhumah perawat tersebut telah bekerja bertaruh nyawa untuk menangani pandemi. Mengapa warga bisa begitu tega?
Dalam masa pandemi, terlebih bagi mereka yang rentan terinfeksi (orang berusia lanjut dan orang dengan penyakit bawaan), semua orang seolah layak dicurigai. Jika positif, sudah pasti semua orang akan menjauhi.
Sedihnya, menjauhi yang dimaksud bukan sekadar menjalankan physical distancing tapi menjauhi dengan persepsi buruk.
Padahal, Allah dan RasulNya senantiasa menyuruh kita untuk selalu menjaga silaturahim. Menjaga hubungan baik dengan sesama manusia adalah sikap manusia meniru kasih sayang Allah yang tak pernah putus bagi hambaNya.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadamu kebahagiaan akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan dunia, dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashas: 77)
Sebagai muslim, hati kita hendaknya selalu dipenuhi rasa welas asih. Karena memelihara kasih sayang di dalam hati tidak akan merugi. Siapa yang mengasihi dan menyayangi, maka akan dilimpahi kasih sayang dari Sang Maha Pengasih dan Sang Maha Penyayang, begitu kata Rasulullah dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dan Tirmidzi.
Yang harus dijauhi adalah virus corona. Tapi jika kita mendapati tetangga, keluarga, atau sahabat terinfeksi corona, mereka harus kita ‘rangkul’. Raga boleh terpisah, tapi dukungan moril tak boleh terputus.
Salah satu kunci untuk meningkatkan imunitas tubuh yang bisa mengenyahkan Covid-19 dari tubuh adalah positive thinking dan rasa bahagia. Jangan sampai tubuh yang sudah lemah terinfeksi virus bertambah parah karena pikiran dihantui ketakutan ditolak masyarakat. Itulah mengapa support keluarga, sahabat, termasuk para petugas medis yang ada di tempat karantina pasien.
Jauhi virus, bukan korbannya.
Pandemi menguji nurani dan akal manusia. Jangan sampai ketakutan dan kepanikan menutup hati nurani dan akal. Kita menjadi overprotective dengan cara membenci orang lain.
Sebenarnya mudah saja, cukup tanyakan kepada diri sendiri, bagaimana seandainya kita sendiri yang terinfeksi Covid-19? Bagaimana jika itu pasangan kita, anak kita, atau keluarga kita? Apa yang akan kita katakan pada orang-orang yang menjauh atau menolak? Bukankah kita pasti akan berteriak “ini bukan kehendak saya” atau “ini bukan salah saya”?
Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang menginginkan dirinya terinfeksi virus corona. Ketika orang itu sudah berusaha sekuat tenaga menjaga diri dari kemungkinan terinfeksi dengan jalan #dirumahaja tapi ternyata takdir Allah menentukan ia terinfeksi, maka tak ada alasan untuk kita membenci orang tersebut.
Apalagi jika ia adalah kepala keluarga yang mau tidak mau harus keluar rumah untuk bekerja karena tak mungkin menjalankan WFH, atau tenaga medis yang berjuang di garda depan penanganan Covid-19.
Sungguh teramat jahat jika kita menghujat atau menolaknya.
Mari selalu memelihara kebaikan dalam diri kita dengan selalu berbuat baik kepada orang lain... yang selamat, maupun yang menjadi korban pandemi.
KOMENTAR ANDA