KOMENTAR

SEBETULNYA, wanita-wanita karir di abad modern ini belum betul-betul bisa berbangga diri, karena segala pencapaiannya itu terlebih dulu telah diraih dengan gemilang oleh para muslimah di masa Rasulullah.

Berabad-abad yang lampau, ketika masyarakat Jahiliyah menghinda dina kaum wanita, Islam telah membuka bukan saja peluang karir, tetapi juga berbagai upaya pengembangan diri bagi kaum hawa.

Janganlah dibanding-bandingkan dulu dengan Khadijah yang merupakan saudagar internasional, muslimah-muslimah lainnya juga sudah terbiasa berkiprah di berbagai lini kehidupan tanpa pembatasan sama sekali. Mereka menikmati kebebasan yang masih menjadi mimpi bagi kebanyakan wanita di berbagai peradaban dunia.

Dan kemapanan ekonomi tidaklah membuat muslimah-muslimah itu lupa diri. Mereka tetap menjadi istri yang salehah dan mampu menghormati suaminya dengan amat baik.

Contohnya, Zainab ats-Tsaqafiyah yang berasal dari keluarga bangsawan dari Bani Tsaqif di daerah Thaif. Dia juga seorang perempuan dengan ekonomi mapan, alias menyandang status orang kaya raya. Sementara suaminya adalah Abdullah bin Mas’ud, seorang penggembala kambing yang juga memiliki kekurangan fisik.

Hebatnya, tidak ada prahara dalam rumah tangga itu meskipun suami istri berlatar belakang status sosial ekonomi yang berbeda. Karena Zainab tidak memandang limpahan kekayaan membuat dirinya berhak merasa lebih dari suami.

Baginya, kelebihan sejati itu justru dimiliki sang suami, karena Abdullah bin Mas’ud adalah qari terbaik yang bacaan Al-Qur’annya dicintai oleh Rasulullah. Selain itu, Abdullah bin Mas’ud memilki kedalaman ilmu agama, sehingga Nabi Muhammad menghimbau umat Islam untuk menggali ilmu dari dirinya.

Kelebihan itulah yang dipandang sepenuh cinta oleh Zainab dan tidak mempermasalahkan nafkah suaminya yang sedikit. Bahkan, Zainab menunjukkan karakter istri salehah tatkala menjadi solusi dari permasalahan ekonomi suaminya. Hal itu dapat kita pahami dari kejadian berikut ini yang dikutip dari sebuah hadis:

Suatu ketika Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai kaum wanita, bersedekahlah kalian walaupun dari perhiasanmu.”

Zainab bergegas pulang menemui Abdullah bin Mas’ud. Jelas sekali Zainab ingin menaati seruan Rasulullah dan meraup pahala yang besar. Namun dirinya mempunyai pertimbangan yang unik. Zainab berkata, “Sesungguhnya engkau ini orang yang tidak mampu. Sementara Rasulullah menyuruh kami untuk bersedekah. Tolonglah temui beliau dan tanyakan, bolehkah saya bersedekah kepada dirimu. Jika tidak boleh, saya akan memberikannya kepada orang lain.”

Abdullah bin Mas’ud merasa tidak enak hati menanyakan langsung kepada Rasulullah. Dia pun menjawab, “Kamu sendirilah yang datang ke sana.”
Zainab menaati perintah suaminya. Dia pun berangkat menuju rumah Rasulullah. Di sana sudah datang duluan wanita Anshar yang ternyata hendak bertanya mengenai permasalahan yang sama.

Nabi Muhammad menyuruh Bilal keluar menanyakan keperluan mereka. Zainab menitipkan pertanyaan kepada Bilal, yang disampaikannya kepada Rasulullah.
Nabi Muhammad bertanya, “Siapakah kedua wanita tersebut?”
Bilal menjawab, “Seorang wanita Anshar dan Zainab.”
Beliau bertanya, “Zainab yang mana?”
Bilal menjawab, “Istri Abdullah.”

Kemudian Rasulullah bersabda, “Bagi kedua wanita itu mendapat dua pahala, yaitu pahala membantu keluarga dan pahala sedekah.” (Hadis riwayat Muttafaq alaih)

Alangkah indahnya episode rumah tangga ini, di mana Zainab tidak menunjukkan arogansi sekalipun dalam urusan bersedekah. Terlebih dahulu dibicarakannya dengan suami, sekalipun itu merupakan harta kekayaan miliknya sendiri. Bahkan, terlebih dulu dibuatnya pertimbangan untuk bersedekah kepada suaminya.

Tidak ada muncul rasa tinggi hati, bahkan Zainab pun mematuhi suami agar menanyakan kepada Rasulullah. Zainab memahami sepaham-pahamnya psikologis Abdullah bin Mas’ud yang hanya mampu memberikan nafkah yang sedikit dan berpotensi menerima sedekah dari istri sendiri. Jelas sekali suaminya merasa malu menanyakan kepada Rasulullah.

Maka Zainab berkenan mengunjungi sendiri kediaman Rasulullah meminta fatwa terkait rencananya bersedekah kepada suami. Nabi Muhammad memberikan apresiasi tinggi atas ijtihad Zainab. Dan beliau menjanjikan perempuan berhati luhur itu mendapatkan dua pahala sekaligus; satu pahala berbuat kebaikan kepada keluarga (suami) dan satu lagi pahala bersedekah.

Dengan adanya episode ini, suami-suami tidak perlu merasa galau tatkala istrinya memiliki karir, pendapatan mandiri atau bahkan kemapanan ekonomi. Kondisi itu sah-sah saja. Islam memperbolehkannya. Suami tidak perlu merasa tersaingi, apalagi khawatir tidak akan dihormati.

Sebagaimana Rasulullah mempunyai istri Khadijah yang kaya raya, dan tetap dihormati dan dicintai sepenuh hati. Suami tidak perlu menghalang-halangi istri dalam pengembangan diri, atau mendapatkan penghasilan yang lebih memuaskan.

Kalau dasar akhlak istri buruk, tanpa berpenghasilan mandiri pun dia tidak akan mampu menghargai suaminya. Istri-istri pun tidak perlu meninggikan diri di hadapan suami, karena bukan harta yang menjadi standar penilaian derjat seseorang, melainkan kemuliaannya di hadapan Allah dan Rasulullah.

Ingatlah, kemapanan keuangan yang diraih istri bukanlah pencapaian pribadi, melainkan di sana juga ada keridaan dan pengorbanan suami. Agar istri mendapatkan kegemilangan berlipat ganda, apabila kondisi keuangan suami pas-pasan, maka istri hendaklah memprioritaskan sedekah kepada suami agar kehidupan keluarga menjadi sejahtera.

 




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur