MAMPUKAH kita bertahan dalam nestapa ini, hari demi hari?
Setiap 24 jam, angka-angka kian bertambah. Angka mereka yang positif juga angka mereka yang meninggal dunia. Setiap hari, kita berharap angka-angka itu bisa berhenti bertambah. Tapi pada kenyataannya, tidak.
Hari demi hari, ‘terpenjara’ di rumah, dan masuk ke bulan suci, hati kita masih saja bergejolak. Seolah tak pernah berhenti dari benak kita, pertanyaan tentang kapan pandemi akan berakhir, tentang kapan kita dapat memulai kehidupan yang menyenangkan seperti dulu.
Betapa kita merindukan bertatap langsung dengan keluarga dan para sahabat. Entah dalam suasana silaturahim penuh canda tawa, juga diskusi maupun meeting santai saat brainstorming bersama rekan kerja. Jujur saja, kita benar-benar merindukan semua yang sebelumnya terkadang terasa menjemukan.
Banyak orang berkeluh kesah kepada psikiater tentang gejolak hati mereka selama pandemi. Mayoritas cerita berisi kecemasan berlebihan dan ketakutan tentang nasib mereka dan keluarga mereka. Dalam masa yang penuh ketidakpastian ini, tentulah berbagai kekhawatiran dengan mudah datang menyesakkan dada.
Nestapa hari ini, mampukah kita bertahan darinya?
Tomas Pueyo Brochard, peraih MBA dari Stanford University, menulis Why We Must Act Now yang menjadi viral secara global (dibaca lebih dari 40 juta orang), The Hammer and The Dance, juga beberapa tulisan lainnya seputar virus corona.
Dengan analisis mendetail berupa grafik-grafik, mulai dari penyebaran corona di Wuhan hingga prediksi angka kematian di Iran dan Italia, Pueyo mendeskripsikan apa yang sedang dan akan terjadi dengan penyebaran virus corona di seluruh dunia. Why We Must Act Now ditulis Pueyo di medium.com pada 10 Maret silam.
Kemudian, membaca The Hammer and The Dance seharusnya membuat kita lebih paham dan lebih kuat. Pueyo menginginkan kita untuk siap menjalani isolasi terbesar dan terpanjang dalam sejarah manusia. Dan ia menekankan, jika kita berharap kehidupan akan kembali normal dan berjalan mulus setelah masa lockdown berakhir, maka itu tidak akan terjadi.
Jika pemberlakuan lockdown secara ketat di seluruh dunia membuat kita syok, maka setelah lockdown, kita belum bisa serta merta berkumpul dalam arisan, ngemall, atau berdesakan menonton konser penyanyi mancanegara.
Menurut Pueyo, the hammer adalah saat kita memilih bertarung melawan Covid-19 lewat lockdown dan physical distancing, agar health system di suatu negara tidak collaps karena terlalu banyak orang terinfeksi.
Selanjutnya, the dance adalah saat ketika pertempuran telah usai. Kehidupan belum kembali normal 100% sampai vaksin ditemukan. Rapid test harus menjangkau lebih banyak orang, berkumpulnya orang dalam skala besar sebaiknya masih harus ditunda, dan gaya hidup sehat dengan cuci tangan dan masker harus tetap dijalankan.
Sekali lagi, jika kita masih bertanya sanggupkah kita bertahan dalam nestapa, maka yakinlah bahwa kita akan bertahan.
Virus berbasis RNA seperti virus corona atau virus flu memang memiliki kecenderungan bermutasi 100 kali lebih cepat dari yang berbasis DNA. Meski demikian, virus corona bermutasi lebih lambat dibandingkan virus-virus influenza.
Dan cara bermutasi paling baik bagi virus tersebut adalah dengan semakin banyaknya kesempatan—yang berarti semakin banyak orang terinfeksi. Saking banyaknya mutasi virus tadi, tidak heran bila kita selalu menderita flu setiap tahun.
Jika kita ingin bertahan, tetaplah menjadi pribadi yang sehat. Jadikan kehidupan selama pandemi ini sebagai satu tata cara kehidupan sehat yang baru. Menjaga kebersihan, menjaga jarak, berjemur, mengonsumsi makanan bergizi, serta berolah raga jangan sampai mengendur.
Dan satu hal lagi yang tak boleh mengendur adalah kepasrahan kita kepada Ilahi Rabbi. Kepasrahan dalam doa dan dzikir yang tercurah dari segenap jiwa raga kita. Kepasrahan yang melimpah dalam setiap sujud salat malam kita.
Ya Rabbi, izinkan kami bertahan dalam nestapa ini dan izinkan nestapa ini berlalu dari kehidupan kami. Aamiin.
KOMENTAR ANDA