Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

KETIKA anak sudah menamatkan pendidikan di bangku sekolah dasar, kita (orangtua) bisa jadi akan terkejut dengan banyaknya perubahan yang terjadi.

Surprisingly, yang terkejut ternyata bukan hanya kita. Anak pun, ketika memasuki fase teenager alias ABG, bisa jadi terheran-heran dengan apa yang terjadi pada dirinya.

Usia belasan menjadi fase peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Anak bukan tak mungkin akan kewalahan dengan berbagai perubahan fisik dan perubahan emosi yang dia alami.

Tidak ingin dicap anak kecil lagi, tapi belum bisa berdiri ‘di atas kaki sendiri’. Sudah tidak ingin diatur-atur orangtua, tapi belum memiliki kemandirian (terlebih lagi dalam urusan finansial) untuk bisa hidup berdikari. Berbagai kondisi yang seolah serba mentok itu tak ayal membuat bingung dan galau.

Perubahan fisik yang terjadi terkadang tidak sesuai apa yang diharapkan. Ada anak laki-laki yang menginginkan tubuh atletis, namun ternyata tubuhnya gempal atau sebaliknya, ceking.

Ada anak perempuan yang mengharapkan tubuhnya langsing dan berkulit putih bening glowing, sayangnya masa menstruasi justru membuatnya menggemuk dengan kulit berjerawat. Dan masih banyak lagi kenyataan yang tidak sesuai ekspektasi.

Suasana hati menjadi karut-marut. Teman-teman menjadi mercusuar yang menerangi jalan hidup. Lebih mendengar apa kata teman satu geng daripada kata orangtua. Akibatnya mulai ada perdebatan-perdebatan kecil yang mewarnai hubungan orangtua-anak.

Ya, anak-anak bisa menjadi sangat kewalahan dengan semua perubahan yang mereka alami. Mereka tentu tidak bermaksud ingin melawan kita yang selama ini menjadi sahabat terbaik mereka. Tapi entah mengapa, keinginan untuk dibilang “bukan anak kecil lagi” dan menjadi independen begitu menggebu. Ada banyak pemikiran yang mulai tak sejalan dengan kita yang terkadang gagap menghadapi perubahan fase dalam kehidupan si buah hati.

Masa peralihan bertambah berat, karena ketika anak belum mampu menyikapi perubahan emosional dan perubahan fisiknya, dia mulai dihadapkan pada berbagai tuntutan seperti nilai sekolah, kegiatan ekstra kurikuler, juga perannya di rumah sebagai anggota keluarga.

Karena itulah kita harus peka.

Bila kita melihat ada perubahan ke arah yang kurang baik, segeralah fokus untuk mengatasi permasalahan anak. Apakah nilainya kian menurun, laporan guru menyebutkan anak sulit konsentrasi, semakin sering melawan orangtua, atau badannya yang makin kurus dan sering sakit.

Kita harus segera mendekati remaja kecil kita untuk mencari tahu akar penyebabnya dan menyeimbangkan gejolak emosinya sedini mungkin.

Seperti dikemukakan American Academy of Family Physicians, ada beberapa langkah yang harus diambil orangtua untuk menenangkan gejolak emosi ABG yang sangat upside down.

#1 Sampaikan rasa bangga kepada anak secara spesifik. Misalnya, mengatakan “ayah dan ibu menyayangimu karena kamu rajin dan memiliki hati yang lembut” atau “ayah dan ibu bangga padamu karena kamu anak yang ceria dan suka menolong”.

#2 Jangan biarkan ada penghalang antara kita dan anak. Biarkan dia merasa nyaman untuk menceritakan hal apa pun yang  terjadi. Syaratnya sangat mudah: jangan keburu menghakimi saat ia sedang bercerita. Dengarlah dan berempatilah.

#3 Pastikan bahwa rumah adalah tempat terbaiknya untuk ‘kembali’, tidak peduli seberat apa pun hari yang dia lalui. Setiap hari, buatlah anak merasa disayangi hingga dia akan selalu merindukan keluarga.

#4 Ajari anak untuk berdamai dengan emosinya. Bagaimana bersikap tenang jika ada masalah, juga bagaimana membangkitkan semangat seandainya mengalami kegagalan.

#5 Kedepankan family values agar anak tahu nilai-nilai yang membuat seseorang menjadi hebat dalam hidupnya. Ada kejujuran, kemampuan menghargai orang lain, dan berjiwa besar.

Tekankan bahwa tidak menjadi nomor satu di kelas bukan lantas merendahkan nilai kita sebagai manusia. Tidak berkulit putih, berambut panjang, dan bertubuh langsing bak model tidak lantas membuat kita tidak bisa berprestasi.

Untuk bisa menyikapi gejolak emosi dengan baik, anak dituntut memiliki kesehatan mental. Menurut Irma Gustiana A, M.Psi, Psi, founder Ruang Tumbuh, kesehatan mental adalah suatu kondisi seseorang merasa nyaman dan tenteram, mampu mengatasi masalah yang dihadapi, sehingga dia bisa produktif meski sedang menghadapi masalah.

Kesehatan mental menjadi penting karena dapat mempengaruhi kesehatan fisik.
Untuk bisa menyeimbangkan kondisi emosional seorang remaja, orangtua sebaiknya tidak hanya bisa menghujat, menyalahkan, dan menghukum.

Remaja lebih senang menerima masukan positif sebagai solusi dari kesalahan yang dilakukan, sebagai panduan untuk dia melangkah esok hari. Agar tidak lagi dan lagi terjatuh ke lubang yang sama. Bukankah kita juga tidak ingin dihakimi lalu dibiarkan begitu saja?

 

 




Mengapa Mengasuh Anak Sekarang Jauh Lebih Sulit Dibandingkan Dulu?

Sebelumnya

Mata Ibu, Silvia Menjadi Komentator Bola bagi Anaknya

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Parenting