SAMBIL mengurung diri di rumah demi ikut berupaya memutus mata-rantai penularan virus corona, kerap kali saya terkenang kepada almarhum Gus Dur.
Satu di antara sekian banyak wejangan yang diwariskan oleh Gus Dur kepada saya adalah kewajiban berpihak kepada kaum tertindas.
Bingung
Akibat kesempitan wawasan kearifan serta kedangkalan daya tafsir saya, terus terang saya kurang paham makna wejangan Sang Mahaguru Bangsa tentang keberpihakan ke kaum tertindas.
Setahu saya berdasar apa yang diajarkan di bangku sekolah tentang sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia, kaum tertindas adalah bangsa Indonesia yang ditindas oleh para penjajah mulai dari Belanda, Prancis, Inggris sampai Jepang.
Namun setelah proklamasi kemerdekaan RI setahu saya bangsa Indonesia merupakan bangsa merdeka yang seharusnya tidak tertindas. Maka semula saya bingung mengenai kepada siapa saya harus berpihak sebab saya tidak tahu siapa yang tertindas.
Pembangunan
Kebingungan cukup lama bertahan sampai pada saat saya menyaksikan bagaimana warga Kampung Pulo digusur dengan kekerasan atas nama pembangunan infra struktur yang seharusnya bukan menyengsarakan, namun menyejahterakan rakyat.
Setelah Kampung Pulo beres digusur tiba giliran Bukit Duri yang bertetangga dengan Kampung Pulo sebagai sesama lokasi hunian sejak sebelum Indonesia merdeka di tepi kali Ciliwung di tengah kota Jakarta.
Puncak derita warga Bukit Duri adalah pada tanggal 28 September 2016 di mana penggusuran dilakukan oleh pihak yang berwenang melakukan penggusuran secara sempurna melanggar hukum akibat tanah dan bangunan yang digusur pada kenyataannya masih dalam proses hukum di Pengadilan Negeri sekaligus juga PTUN.
Setelah digusur, warga tergusur masih dihujat sebagai sampah masyarakat penyebab banjir demi membenarkan kebijakan menggusur mereka. Meski PN dan PTUN memenangkan gugatan warga Bukit Duri namun tetap dihujat sebagai sampah masyarakat penyebab banjir maka wajib digusur.
Penggusuran secara paksa juga dilakukan terhadap warga Pasar Akuarium, Luar Batang, Kali Jodo, Kalibata, Tangerang, Kulon Progo, Tulang Bawang, Sukomulyo, Kendeng, Papua dan lain sebagainya.
Rentetan peristiwa itu secara lambat laun namun pasti menyadarkan saya tentang makna warisan wejangan Gus Dur mengenai keberpihakan ke kaum tertindas.
Ternyata setelah bangsa Indonesia merdeka masih ada rakyat Indonesia yang tertindas bukan oleh bangsa asing namun oleh sesama bangsa Indonesia.
Kemanusiaan
Ternyata penindasan dilakukan secara indiskriminatif oleh kaum penindas terhadap kaum tertindas tanpa pandang waktu, tempat, bangsa, suku, ras, etnis, agama akibat nurani kemanusiaan para penindas sudah dibius oleh gemerlap harta benda dan kemilau kekuasaan.
Ternyata tidak mudah berpihak kepada kaum tertindas sesuai wejangan yang diwariskan Gus Dur sebab lazimnya kaum penindas tidak begitu saja berkenan menghentikan penindasan terhadap kaum tertindas.
Ternyata Gus Dur memang arif-bijaksana dalam meletakkan keberpihakan kepada kaum tertindas sebagai budi-pekerti adiluhur enerji penggerak mekanisme peradaban yang senantiasa berjuang menuju tujuan bukan menyengsarakan namun menyejahterakan umat manusia. Terima Kasih, Gus Dur !
Penulis adalah cantrik Gus Dur pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan
KOMENTAR ANDA