SEBELUMNYA saya mohon maaf kepada para penganut gerakan anti rokok dan Kementerian Kesehatan karena naskah ini saya tulis berdasar artikel berjudul “An Unexpected Ally” dengan sub-judul “Covid-19 and smoking” majalah The Economist rubrik Science & Technology edisi 2 Mei 2020.
Artikel kontroversial tersebut memang rawan ditafsirkan sebagai gerakan pro rokok.
Minoritas
Terberitakan bahwa hanya 5% dari 482 pasien positif Corona yang dirawat di rumah sakit Pitie-Salpetriere, Paris sejak 28 Februari sampai dengan 9 April 2020 yang merupakan perokok harian. Rasio antara perokok dan bukan perokok di rumah sakit perawat pasien positif Covid-19 di Amerika Serikat, China dan Prancis saling beda satu dengan lainnya, namun semua sama dalam hal pernyataan bahwa para perokok justru merupakan minoritas pasien positif Corona yang dirawat di rumah sakit.
Maka beberapa pihak mengambil kesimpulan bahwa pasti “ada sesuatu” pada metabolisme ragawi para perokok sehingga tanpa disadari mereka memiliki daya tahan tubuh yang cocok untuk menangkal serangan virus Corona merusak kesehatan bahkan membinasakan manusia yang dihinggapinya.
Peradaban
Sebagai insan awam saya tidak berani melibatkan diri ke dalam polemik tentang pemberitaan The Economist yang memang kontroversial tersebut. Namun sebagai pembelajar peradaban umat manusia, saya sudah pernah menulis sebuah naskah tentang sejarah rokok dipandang dengan lensa kebudayaan.
Semula perilaku menghirup asap daun tembakau merupakan bagian melekat pada kehidupan sosio-kultural masyarakat pribumi benua Amerika yang keliru disebut sebagai “Indian” gegara Columbus keliru menganggap dirinya mendarat di India pada tahun 1492. Masyarakat pribumi Amerika Utara memiliki tradisi ritual sosial saling menghirup asap daun tembakau yang dibakar kemudian secara bergilir dihirup bukan melalui mulut tetapi hidung.
Ritual silaturrahim itu merupakan ungkapan persahabatan dan persaudaraan antara sesama penghirup asap tembakau. Kemudian Columbus memperkenalkan tradisi menghisap asap daun tembakau ke Eropa yang dipopularkan oleh Sir Walter Ralleigh sebagai rokok dengan asap dihirup lewat mulut yang kemudian lebih berkembang sebagai hiburan personal ketimbang ritual keakraban sosial antar sesama manusia.
Jamu
Berdasarkan keyakinan seorang pembelajar ramuan jamu, saya meyakini bahwa daun tembakau sebagai bagian dari tumbuh-tumbuhan pasti memiliki daya khasiat tertentu yang sebenarnya perlu diteliti lebih jauh. Sayang upaya penelitian khasiat daun tembakau terkendala secara sistematis dan masif akibat gerakan anti rokok. Yang saya harapkan diteliti sebenarnya bukan khasiat rokok namun khasiat daun tembakau sebagai ramuan jamu.
Layak diyakini bahwa Yang Maha Kuasa menciptakan tumbuh-tumbuhan termasuk tembakau yang pasti mengandung daya guna untuk menjaga dan membina kesehatan manusia. Maka besar harapan saya bahwa pemberitaan The Economist tentang para perokok sebagai minoritas pasien positif Corona dapat menjadi indikasi untuk lebih lebar membuka pintu gerbang penelitian secara lebih luas dan mendalam tentang khasiat daun tembakau demi memperkuat daya tahan tubuh manusia terhadap beranekaragam penyakit.
Bukan mustahil apabila didayunakan secara tepat-sasaran dan tepat-guna maka daun tembakau dapat membantu perjuangan umat manusia melawan beranekaragam penyakit termasuk penyakit saluran pernafasan akibat virus Corona.
Penulis adalah pembelajar peradaban serta pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan
KOMENTAR ANDA