DI tengah kemelut wabah penyakit menular membuat akronim, saya tidak mau ketinggalan tertular wabah akronim denga sekaligus membuat dua, yaitu JALKI dan PULKAM sebagai akronim Jalan Kaki dan Pulang Kampung.
Sarjan
Naskah JALAN KAKI PULANG KAMPUNG berkisah tentang seorang mahasiswa UIN Syarief Hidayatullah, Tangerang Selatan, Banten, bernama Sarjan memaksakan diri berjalan kaki -- sekali lagi: berjalan kaki! --- menempuh perjalanan puanjuang (lebih dari 1.330 kilometer!) demi pulang ke kampung halaman di Desa Rato, Kecamatan Parado, Kabupaten Bima di nun jauh di pulau Sumbawa.
Sarjan mengaku terpaksa Jalki Pulkam sebab sudah tidak tahan mengarantina diri selama lebih dari dua bulan di dalam kos-kosannya di Ciputat, Tangerang Selatan akibat pageblug Corona. Di samping akibat sudah 4 tahun tidak pernah pulkam dan para teman sekos-kosannya semua sudah mudik, eh pulkam ke kampung halaman masing-masing.
Pada tanggal 26 April 2020 Sarjan memulai perjalanan menempuh jarak lebih dari 1.330 kilometer dengan berjalan kaki seorang diri dari Ciputat dengan tujuan awal menuju pelabuhan penyeberangan Ketapang Banyuwangi, Jawa Timur sebelum menyeberang ke Pulau Bali, lalu Pulau Lombok kemudian Pulau Sumbawa.
Sesampai di Pamanukan Subang, Sarjan bertemu tiga orang pemuda yang bernasib sama, yaitu terpaksa berjalan kaki untuk pulang ke kampung halaman yang berbeda-beda lokasi, namun semuanya berada di Jawa Tengah. Sepanjang perjalanan menuju Solo, Sarjan bersama tiga pemuda yang kena PHK itu sesekali menepi untuk makan, minum, dan beristirahat demi mengembalikan stamina lahir-batin di emperan toko.
Pada saat naskah ini ditulis, belum diketahui apakah Sarjan sudah sampai ke kampung halamannya di Desa Rado, Sumbawa Timur. Insya Allah, sudah.
Kemanusiaan
Apa yang dilakukan Sarjan rawan dikritik sebagai perilaku tidak mematuhi PSBB di tengah kemelut pagblug Corona merundung Tanah Air Udara tercinta kini. Sarjan rawan dituduh tidak bertanggung jawab dalam ikut memutus mata rantai penularan virus Corona.
Namun di sisi lain, apa yang dilakukan Sarjan mengingatkan saya kepada ajaran Jesus Kristus “Jangan Menghakimi”. Maka saya berupaya bersikap Ojo Dumeh demi menunaikan Jihad Al Nafs menaklukkan diri saya sendiri agar tidak menghakimi apa yang dilakukan Sarjan.
Pemuda usia 22 tahun asal Sumbawa itu tidak berniat melanggar PSBB namun sekadar rindu kampung halaman demi berjumpa sanak keluarga akibat di perantauan sudah tidak memiliki sumber nafkah untuk menghidupi diri sendiri di Pulau Jawa.
Apalagi sudah dapat dipastikan bahwa diri saya sendiri pasti mustahil mampu melakukan perilaku seperti yang dilakukan Sarjan, yaitu menempuh kemelut deru campur debu bersimbah kucuran keringat akibat panasnya terik sinar matahari sepanjang perjalanan lebih dari 1.330 kilometer dari Ciputat di Tangerang Selatan Pulau Jawa ke Desa Rado, Kecamatan Parado, Kabupaten Bima di Pulau Sumbawa.
Mohon dimaafkan bahwa alih-alih menghakimi atau membenarkan, saya memilih untuk mencoba mengerti serta memahfumi alasan Sarjan berjalan kaki menempuh perjalanan dari Tangerang Selatan di bagian barat Pulau Jawa ke Desa Rado di bagian timur Pulau Sumbawa.
Insya Allah, apa yang (terpaksa) dilakukan oleh Sarjan dapat mengingatkan kita semua bahwa di atas hukum masih ada keadilan. Dan di atas keadilan masih ada kemanusiaan.
Penulis adalah pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan
KOMENTAR ANDA