KOMENTAR

TIDAK terasa hampir 60 hari kita menjalankan kehidupan dari rumah. ‘Gado-gado’ perasaan sudah kita rasakan. Mulai dari ketakutan luar biasa saat awal mendengar masuknya virus corona ke Indonesia, membaca sekian banyak informasi hoaks seputar penyebaran Covid-19, hingga deg-degan saat lockdown diberlakukan.

Kemudian kita mencoba menikmati hari demi hari #dirumahaja. Mencoba meraba segala hikmah yang disodorkan corona untuk kita. Betul memang, kebersamaan dengan orang-orang tercinta—pasangan dan anak-anak—kini tak lagi langka. Kita benar-benar menikmati detik demi detik di rumah bersama keluarga.

Bukan sekadar ngobrol dan bercanda, kita pun mulai memahami kembali karakter pasangan dan si buah hati yang mungkin kini sedikit berubah dari yang sebelumnya kita kenal. Kita mengenal pribadi mereka yang terkini, mungkin yang paling murni, karena tidak terkontaminasi dengan berbagai urusan di luar rumah.

Beberapa dari kita mungkin tidak berhasil bertahan. Mulai uring-uringan. Mulai berdebat. Bahkan, naudzubillah, mulai menjadi covidiot. Segala hal menjadi serba salah lalu menyalahkan segala hal.

Patut disayangkan jika kita termasuk perempuan yang tak berhasil bertahan. Padahal pandemi merupakan proses metamorfosis yang bisa mengubah kita menjadi kupu-kupu cantik.

Sebagai perempuan, pandemi ini seharusnya membuka mata dan hati kita lebar-lebar. Kita diberi kesempatan oleh Allah untuk menjadi lebih kuat, lebih sabar, lebih cermat, lebih berempati, dan lebih menghargai diri sendiri.

Bagi seorang ibu misalnya, tentu menjadi kebanggaan tersendiri manakala si buah hati dapat menikmati stay at home dengan rasa gembira. Dan itu membutuhkan kreativitas untuk menyuguhkan berbagai aktivitas yang menyenangkan selama di rumah. Hei, ternyata tidak butuh pergi ke playground di mal setiap pekan untuk membuat si kecil bersenang-senang.

Tak hanya soal kegiatan anak, para ibu juga ‘dipaksa’ untuk lebih berkreasi dalam urusan hidangan di rumah. Kita melihat foto-foto di media sosial bercerita tentang masakan-masakan baru yang dibuat para ibu selama pandemi.

Masakan yang sebelumnya hanya dibeli dari restoran, kini tercipta dari dapur ibu. Meski tak sama dengan buatan chef ternama, masakan ibu menjadi favorit baru keluarga tercinta.

Apalagi di bulan Ramadan ini, ibu pastilah merasa sangat bahagia ketika anak bisa menjalankan puasa dan ibadah-ibadah sunnah lain dengan bersemangat. Mereka mengaji dan mengkaji, mendengarkan kisah kita tentang para nabi dan sahabat, juga berlomba siapa paling rajin ibadah. Beyond words!

Tak hanya dalam kapasitas sebagai ibu, pandemi juga mengajarkan perempuan untuk hidup lebih bersahaja. Memaknai kembali cantik dari dalam, yaitu tentang hati yang bersih dan hati yang peduli kesulitan orang lain.

Kecantikan bukan sekadar pujian orang tentang betapa mulusnya kulit wajah kita, betapa pintarnya kita ber-makeup, dan betapa kerennya kita melakukan padu-padan fesyen. Ada yang jauh lebih besar dari itu semua, yaitu semangat yang terjaga dalam hati adalah booster paling ampuh untuk menjadikan kita pribadi nan cantik.

Yakinlah, hari-hari pandemi akan tercetak ‘indah’ dalam lembar sejarah kehidupan setiap manusia di muka bumi ini. Karena corona akan membawa perubahan besar bagi roda kehidupan manusia hingga kemudian hari.

Apakah kita akan menjadi kupu-kupu cantik setelah pandemi? Atau kita tetap menjadi kepompong karena tak mampu menjalani metamorfosis dengan sempurna?
Kejenuhan kita mungkin sudah sampai pada puncaknya. Maka sungguh disayangkan jika pandemi hanya membuahkan jenuh. Biarkan jenuhku, jenuhmu, jenuh kita bertransformasi menjadi kebaikan dan keindahan yang abadi.

 

 




Dari Bisnis hingga Politik, Jejak Karier Futri Zulya Savitri yang Inspiratif

Sebelumnya

Stella Christie, Ilmuwan Kognitif dan Guru Besar Tsinghua University yang Terpilih Jadi Wakil Menteri Dikti Saintek RI

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Women