Moncef Slaoui bersama Donald Trump saat briefiing media di Gedung Putih/Net
Moncef Slaoui bersama Donald Trump saat briefiing media di Gedung Putih/Net
KOMENTAR

DALAM upaya mempercepat penemuan vaksin Covid-19, Amerika Serikat (AS) akan melakukan program ‘Operation Warp Speed’. Melalui program ini, penemuan vaksin diharapkan bisa selesai pada akhir tahun dan diproduksi besar-besaran. Untuk melancarkan misi itu, Presiden Donald Trump telah menunjuk seorang ilmuwan Muslim, mantan kepala vaksin di GlaxoSmithKline.

Pada briefing hari Jumat, Trump mengatakan belum ada satu negara pun yang memiliki program seperti yang digagasnya ini.

“Ini disebut Operation Warp Speed yang berarti besar, dan itu berarti upaya industri ilmiah dan logistik secara besar-besaran, tidak seperti apa pun yang telah dilihat negara kita sejak Proyek Manhattan. Anda benar-benar dapat mengatakan bahwa tidak ada yang pernah melihat hal seperti yang kami lakukan, apakah itu ventilator atau pengujian,” kata Trump bersemangat.

“Tujuannya adalah untuk menyelesaikan pengembangan dan kemudian memproduksi dan mendistribusikan vaksin virus corona secepat mungkin. Sekali lagi kami ingin melihat apakah kami bisa melakukannya sebelum akhir tahun,” lanjut Trump.

Ilmuwan Muslim yang ditunjuk Trump untuk memimpin program ‘Operation Warp Speed’ ini adalah Moncef Slaoui, seorang jenderal militer bintang empat Gustave Perna.

Slaoui seorang ahli imunologi terkenal di dunia, yang membantu menciptakan 14 vaksin baru dalam 10 tahun selama waktunya di sektor swasta.

Pria kelahiran Belgia ini pernah kehilangan saudara perempuannya akibat pertusis atau batuk 100 hari. Rasa kehilangan inilah yang memotivasi Slaoui belajar dan berkarir dalam vaksin, seperti dikutip dari Morocco News World.

Beberapa vaksin yang dihasilkan Dr Moncef Slaoui adalah Rotarix, Synflorix, dan Cervarix. Rotarix untuk mencegah gangguan pencernaan (gastroentritis) pada bayi, Synflorix untuk penyakit pneumococcal, dan Cervarix untuk mengatasi kanker serviks.

Pada 2015, dia mendapat persetujuan Eropa untuk vaksin malaria pertama di dunia Mosquirix. Saat mengundurkan diri pada 2017, GlaxoSmithKline sedang mengembangkan vaksin untuk mengatasi penyakit Ebola. Penyakit ini disebabkan virus yang mengakibatkan demam hingga perdarahan.

Setelah lulus dari Sekolah Menengah Mohammed V di Casablanca, Slaoui belajar ilmu biologi di Belgia dan juga mengambil kursus pascasarjana di Harvard Medical School dan Fakultas Kedokteran Universitas Tufts. Dia telah menerbitkan lebih dari 100 makalah ilmiah dan merupakan anggota dewan direksi International AIDS Vaccine Initiative, seperti dikutip dari Dawn.




Gunung Lewotobi Kembali Meletus Disertai Gemuruh, Warga Diimbau Tetap Tenang dan Waspada

Sebelumnya

Timnas Indonesia Raih Kemenangan 2-0 atas Arab Saudi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News